Tuesday, July 9, 2019

PENGERTIAN, PENDEKATAN DAN KARAKTERISTIK LEGAL REASONING YANG BAIK



Oleh Hj. St. Zubaidah, S.Ag., S.H., M.H. (Hakim PA Rantau Tahun 2017)  

1. Pengertian  

Term “Legal Reasoning” menurut Golding, dapat digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologis yang dilakukan hakim untuk sampai pada putusan atas kasus yang dihadapinya. Sedangkan, legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi yang melandasi suatu keputusan. Artinya, legal reasoning dalam arti sempit ini menyangkut kajian logika dari suatu putusan, yaitu hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan putusan, serta ketepatan alasan atau pertimbangan yang mendukung putusan tersebut.  

Sedangkan, menurut B. Arif Sidharta, legal reasoning atau penalaran hukum adalah kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun demikian, penalaran hukum tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi penalaran hukum untuk juga menjamin stabilitas dan prediktabilitas putusannya dengan mengacu kepada sistem hukum positif. Demi kepastian hukum, argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas penataan ini, sehingga putusan-putusan itu (misalnya antara hakim yang satu dengan hakim yang lain dalam mengadili kasus serupa) relatif terjaga konsistensinya (asas similia similibus). Berdasarkan pandangan ini, dengan mengutip Ter Heide, B. Arief Sidharta menyebut tipe argumentasi dalam penalaran hukum sebagai “berpikir problematikal tersistematisasi” (gesystematiseerd probleemdenken).

 Sumaryono mendefinisikan penalaran sebagai sebuah proses mental di mana kita (melalui akal budi) bergerak dari apa yang telah kita ketahui menuju ke pengetahuan yang baru (hal yang belum kita kita ketahui). Atau, kita bergerak dari pengetahuan yang telah kita miliki ke pengetahuan yang baru yang berhubungan dengan pengetahuan yang telah kita miliki tersebut. Semua bentuk penalaran selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada atau sudah kita ketahui. Kita tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan. Selalu ada sesuatu yang yang tersedia yang kita pergunakan sebagai suatu titik tolak untuk menalar. Titik tolak tersebut kita namakan “yang telah diketahui”, yaitu sesuatu yang dapat dijadikan sebagai suatu premis, evidensi, bukti, dasar, bahkan alasan-alasan darimana hal “yang belum diketahui”, dapat disimpulkan. Hal yang dapat disimpulkan itulah yang disebut konklusi. Inilah kiranya yang merupakan alasan mengapa penalaran dapat juga didefinisikan sebagai “berpikir konklusif”, “berpikir untuk menarik kesimpulan".  

Dengan demikian pengertian sederhana Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/kasus hukum, seorang pengacara meng-argumentasikan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Namun pengertian sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana apabila pertanyaan dilanjutkan kepada: apakah yang dimaksud dengan hukum dan bagaimana sebenarnya atau seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum dan bagaimana seorang pengacara mengargumentasikan hukum?  

BACA JUGA Legal Reasoning dan Kemanfaatan Hukum

Bagi beberapa ahli hukum formulasi legal reasoning mengandung pengertian yang ambigu mengenai apakah legal reasoning adalah reasoning tentang hukum, yaitu apakah reasoning tersebut mengenai reasoning untuk mencari dasar tentang substansi hukum yang ada saat ini (dalam memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif yang ada mengenai kasus tersebut), ataukah reasoning yang diambil dari substansi hukum yang ada itu yang harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang dihadapkan kepada hakim (harus mempertimbangkan semua aspek yang ada termasuk isu mengenai moral dan lain-lain). Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga pengertian tentang legal reasoning, yaitu:  

Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang sedang terjadi.  

Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang harus diambil atas suatu perkara yang terjadi.  

Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara, dengan mempertimbangkan semua aspek.  

2. Pendekatan dalam Legal Reasoning  

Konsep atau formula untuk menyelami dunia legal reasoning sehingga menjadi lebih mudah dipahami, terdiri dari formula IRAC dan formula IRFAC.  

Formula IRAC (Issue, Rule, Analysis, Conclusion), merupakan bentuk-bentuk dasar dari pembentuk argumentasi hukum, yang ditawarkan oleh Prof. Peter Suber, dari Philosophy Department, Earlham University. Terdapat 4 (empat) langkah sederhana Yang harus dilalui oleh setiap hakim dalam membedah perkara yang diajukan kepadanya, serumit apa pun perkara itu.  

  • Issue = Fakta-fakta dan keadaan apa saja yang telah membawa para pihak ke pengadilan;

  • Rule = Aturan hukum apakah yang berlaku terhadap isu hukum tersebut?  

  • Analysis = Apakah aturan-aturan hukum tersebut dapat diterapkan terhadap fakta-fakta khusus dari isu hukum tersebut?  

  • Conclusion = Bagaimana pengaruh dari sikap atau putusan terhadap penegakan hukum?

Langkah pertama, yaitu menemukan serta mencermati ISSUE hukumnya. Pada saat mencermati isu hukum ini harus diingat adalah bahwa “Fakta hukum dari suatu perkara memberikan petunjuk tentang permasalahan atau isu hukum yang dihadapi”. Dan kuncinya adalah kemampuan hakim untuk mengidentifikasikan fakta hukum apa telah memunculkan isu hukum apa. Karena pada asasnya isu hukum itu sangat kompleks, maka setiap pembahasan atau penambahan suatu fakta hukum juga akan mengurangi atau menambah isu hukum dalam perkara yang bersangkutan, sehingga dapat memunculkan upaya penegakan hukum yang baru pula.  

Cara termudah untuk membatasi permasalahan atau isu hukum adalah dengan mengidentiflkasi isu hukum yang relevan dan isu hukum yang tidak relevan dari perkara yang bersangkutan. Ketika seorang hakim membaca berkas perkara, hendaknya selalu menyusun daftar pertanyaan terkait dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dicermati. Dengan demikian yang bersangkutan akan memiliki semacam database untuk permasalahan atau isu hukum yang sedang dicermati tersebut. Database ini akan memudahkan hakim konstitusi dalam melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya secara efektif dan efisien. Sebaliknya, manakala seorang hakim tidak memiliki database yang tertata secara tepat dan cermat, maka terdapat kemungkinan akan terjadi error dalam upaya untuk menemukan fakta-fakta hukum yang relevan, sehingga berakibat salah dalam membedah tahapan berikutnya dalam formula IRAC, yaitu tahapan Rules (menemukan aturan hukumnya).  

Langkah kedua, yaitu menemukan Rule (aturan hukum) mana yang diterapkan? pada saat menemukan rule-nya hal yang harus diyakini adalah bahwa “Permasalahan atau isu hukum tertentu diatur oleh aturan hukum tertentu pula”. Untuk setiap berkas perkara yang dibaca oleh hakim misalnya, cobalah untuk membedah penegakan hukumnya dengan mengurai perkara tersebut menjadi beberapa komponen. Dengan kata lain, tanyakanlah: elemen aturan hukum manakah yang harus dibuktikan agar penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar? Terlalu terfokus dan terpaku pada aspek legal formal atau aturan hukum saja sering menjadi kendala bagi hakim dalam menemukan rulenya. Padahal, sekalipun aturan hukum merupakan hukum yang harus ditegakkan, sesungguhnya, seni dari berpraktik hukum adalah terletak pada kemampuan hakim yang bersangkutan dalam membuat analisis hukum.  

Langkah ketiga, yaitu ANALYSIS. Untuk membentuk analisis hukum, bandingkan dan cermatilah fakta hukum yang telah ditemukan dengan aturan hukum yang akan diterapkan. Untuk setiap fakta hukum yang relevan, hakim harus dapat menjawab apakah fakta hukum yang ditemukan tersebut dapat membantu dalam membuktikan atau tidak dapat membuktikan sesuatu.  

Kesalahan yang sering terjadi yaitu terdapat kecenderungan untuk hanya menyoroti permasalahan atau isu hukumnya saja kemudian mengutip aturan-aturan hukum yang hendak diterapkan, tanpa membuat atau melakukan analisis sama sekali. Padahal, yang terpenting bukanlah sekadar menemukan hukumnya saja, melainkan juga menerapkan aturan hukum tersebut terhadap serangkaian fakta atau keadaan yang dijumpai. Analisis merupakan bagian terpenting dari formula IRAC, karena di sinilah terjadi proses berpikir atau penalaran (reasoning) yang sesungguhnya.  

Langkah keempat, yaitu CONCLUSION. Berangkat dari analisis, maka akan sampai pada simpulan, misalnya simpulan bahwa aturan hukum yang digunakan dapat diterapkan terhadap fakta-fakta hukum yang ada. Dengan membuat simpulan berarti seseorang telah mengambil sikap berdasarkan hasil analisis yang telah dibuatnya. Adakalanya seorang hakim menjumpai permasalahan atau isu hukum di mana terjadi penafsiran ganda bahwa suatu aturan hukum dapat dan sekaligus tidak dapat diterapkan terhadap serangkaian fakta hukum. Terhadap hal demikian, sangat bergantung pada seberapa baik kemampuan hakim dalam menganalisis permasalahan atau isu hukum yang pelik tersebut. Dalam hal ini hakim harus menentukan sikap serta menunjukkan seberapa tajam kemampuannya dalam menganalisis suatu perkara.  

Kesalahan yang sering terjadi adalah membuat simpulan tanpa memberikan landasan atau dasar yang kuat bagi pendapat yang dituangkan dalam simpulan tersebut. Dengan kata lain, praktisi hukum atau hakim hanya sekadar menyoroti suatu isu hukum, menyebutkan aturan hukum yang diterapkan dan kernudian membuat simpulan tanpa memberikan analisis yang memadai dan baik.  

Pada prinsipnya, IRAC merupakan alur pembentukan legal reasoning dalam mencermati setiap permasalahan hukum. Keistimewaan IRAC ini adalah bahwa keduanya memungkinkan para hakim untuk menyederhanakan kompleksitas permasalahan hukum menjadi sebuah rumus atau formula sederhana. Kompleksitas teknik pembentukan argumentasi hukum atau legal reasoning yang bersifat abstrak dapat disederhanakan menjadi sebuah formula sederhana yang mudah diingat, dipahami, dan dipraktikkan para hakim.  

3. Karakteristik Legal Reasoning yang Baik  

Mengacu pada pemikiran filsafat praktis dari Aristoteles, Brett G. Scharffs mengemukakan bahwa legal reasoning yang baik itu tersusun dari tiga gagasan atau konsep, yaitu:  

Pertama, practical wisdom atau phronesis (tindakan dan aksi) Kedua, craft atau techne atau keterampilan (cipta atau produksi) Ketiga, rhetorica.  

Practical wisdom adalah memberikan pertimbangan mendalam tentang tindakan atau aksi apa yang harus dilakukan. Practical wisdom bukanlah semata-mata menerapkan dan mengikuti aturan perundang-undangan. Practical wisdom bukan pula semata-mata mengetahui tentang apa yang benar dan apa yang salah, artinya practical wisdom terkait erat dengan memberikan pertimbangan yang mendalam (deliberation/ bouleusis), menentukan pilihan (choice/proairesis) dari serangkaian pilihan yang ada, dan pada akhirnya menentukan tindakan (action/praxis) terbaik yang harus dilakukan.  

Menurut Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh Scharffs, bahwa practical wisdom itu terbentuk dari komponen intelektualitas dan komponen karakter. Seorang hakim yang memiliki pratical wisdom senantiasa dapat melakukan pertimbangan mendalam secara baik. Pertimbangan mendalam tersebut mencakup bagaimana menemukan sarana-sarana terbaik untuk mencapai tujuan tertentu termasuk menentukan tujuan yang tepat yang hendak dicapai. Sosok hakim yang demikian ini dikatakan sebagai hakim yang memiliki intelektualitas yang tinggi.  

Komponen kedua yang membentuk practical wisdom adalah karakter.  

Terdapat beberapa karakter yang dapat memfasilitasi terbentuknya practical wisdom, yaitu simpati dan ketulusan. Selain kedua karakter, terdapat pula beberapa karakter lainnya yang harus dimiliki seorang hakim agar dapat dikatakan sebagai pribadi hakim yang memiliki practical wisdom, yaitu: adil, pemaaf, dan rendah hati.  

Craft, merupakan kemampuan atau kapasitas yang tinggi untuk membuat atau menciptakan sesuatu. Berbeda dengan practical wisdom yang memiliki beberapa komponen pembentuk, craft hanya memiliki satu komponen, yaitu intelektualitas. Craft terbentuk dari pemanfaatan materi-materi dan sarana-sarana secara terampil. Dalam bidang hukum, materi-materi dimaksud meliputi sumber-sumber hukum (seperti: konstitusi dan ketentuan perundang-undangan), prinsip-prinsip dan pemikiran-pemikiran dasar tentang hukum (termasuk prinsip kemerdekaan, kesetaraan, keadilan, dan proses hukum yang adil), serta berbagai rangkaian peraturan dan pedoman Seorang hakim yang baik sekaligus adalah seorang pembuat (putusan) yang baik. Ia tidak hanya belajar peraturan perundang-undangan dan teori melainkan juga senantiasa mengembangkan pengetahuannya. Ia juga selalu berupaya untuk mengembangkan sikap dan kebiasaan yang baik melalui proses belajar.  

Rhetoric, adalah persuasi. Aristoteles mendefinisikan retorika sebagai “kemampuan untuk menemukan sarana-sarana persuasi yang tersedia". Definisi yang diberikan oleh Aristoteles ini menarik karena Aristoteles membedakan antara tujuan eksternal dan tujuan internal dari retorika. Tujuan eksternal dari suatu retorika adalah untuk memenangkan atau berhasil membujuk (successfully persuading) audiensinya. Keberhasilan upaya persuasi ini diukur dari hasil yang diperoleh dari argumen yang telah dibangunnya. Sedangkan, tujuan internal berkaitan erat dengan penyusunan argumentasi terbaik yang mungkin dibuat dalam suatu keadaan tertentu dan dengan memanfaatkan sarana-sarana persuasi yang tersedia.  

Legal reasoning yang baik menurut Scharffs adalah hasil kombinasi antara practical wisdom, craft dan rhetoric. Hakim yang baik adalah hakim yang dapat mengombinasikan skill atau karakter practical wisdom (kearifan dalam berpraktik hukum) , keterampilan dan retorika. Masing-masing dari ketiga konsep tersebut merupakan komponen esensial dari suatu legal reasoning yang baik. Ketiganya memiliki signifikansi dan arti penting yang setara. Berikut penjelasan dari ketiga komponen tersebut.  

Tugas hakim dalam membuat putusan sangat tedrkait dengan tujuan atau fokus dari practical wisdom, craft maupun rethoric. Dalam membuat putusan hakim membutuhkan pertimbangan yang mendalam (practical wisdom), menentukan pilihan dari serangkaian pilihan yang tersedia (craft), dan pada akhirnya menentukan tindakan atau aksi yang akan diambilnya (rethoric). Pendapat hukum (Legal Opinion) yang kemudian dituangkan hakim dalam putusannya pun merupakan sesuatu yang dapat dikritisi dan dipuji sebagai pendapat hukum yang baik, tegas serta memiliki kemanfaatan yang tinggi. 




Catatan kaki

Edi Riadi, Dr., S.H.,M.H. Penalaran Hukum dalam Penyelesaian Kasus Perdata Agama (Faktor Peristiwa, Fakta Hukum dan Perumusan Fakta Hukum). Majalah Varia Peradilan Nomor 325, Jakarta, Edisi Desember 2002. 

Eman Suparman, dalam Makna Hukum dan Tugas Hakim (Problematik Hukum dan Etika-Sebuah Pendekatan Konseptual). Konggres llmu Hukum “Refleksi dan Rekonstruksi llmu Hukum Indonesia”, tanggal 1920 Oktober 2012, Semarang. 

J.A. Pontier. 2008. Penemuan Hukum. Penerjemah B. Arief Sidharta. Bandung: Jendela Mas Pustaka. 

Mertokusumo, Prof.Dr., S.H. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Edisi Kelima. Cet. Kedua. Yogyakarta: Liberty.

H.M. Soerya Respationo. “Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas Hukum Ref|eksif Dalam Penegakan Hukum”. Jurnal Hukum Yustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus 2013. 

Satjipto Rahardjo. 1997. llmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 

Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Surajivo, dkk. 2007. Dasar-Dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara. 


0 komentar:

Post a Comment