PENGERTIAN, PENDEKATAN DAN KARAKTERISTIK LEGAL REASONING YANG BAIK
Oleh
Hj. St. Zubaidah, S.Ag., S.H., M.H. (Hakim PA Rantau Tahun 2017)
1.
Pengertian
Term
“Legal Reasoning” menurut Golding, dapat digunakan dalam dua arti, yaitu dalam
arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses
psikologis yang dilakukan hakim untuk sampai pada putusan atas kasus yang
dihadapinya. Sedangkan, legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan
argumentasi yang melandasi suatu keputusan. Artinya, legal reasoning dalam arti
sempit ini menyangkut kajian logika dari suatu putusan, yaitu hubungan antara
reason (pertimbangan, alasan) dan putusan, serta ketepatan alasan atau
pertimbangan yang mendukung putusan tersebut.
Sedangkan,
menurut B. Arif Sidharta, legal reasoning atau penalaran hukum adalah kegiatan
berpikir problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan
sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun demikian, penalaran hukum
tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan
bagi penalaran hukum untuk juga menjamin stabilitas dan prediktabilitas
putusannya dengan mengacu kepada sistem hukum positif. Demi kepastian hukum,
argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas penataan ini, sehingga
putusan-putusan itu (misalnya antara hakim yang satu dengan hakim yang lain
dalam mengadili kasus serupa) relatif terjaga konsistensinya (asas similia
similibus). Berdasarkan pandangan ini, dengan mengutip Ter Heide, B. Arief
Sidharta menyebut tipe argumentasi dalam penalaran hukum sebagai “berpikir
problematikal tersistematisasi” (gesystematiseerd probleemdenken).
Sumaryono
mendefinisikan penalaran sebagai sebuah proses mental di mana kita (melalui
akal budi) bergerak dari apa yang telah kita ketahui menuju ke pengetahuan yang
baru (hal yang belum kita kita ketahui). Atau, kita bergerak dari pengetahuan
yang telah kita miliki ke pengetahuan yang baru yang berhubungan dengan
pengetahuan yang telah kita miliki tersebut. Semua bentuk penalaran selalu
bertolak dari sesuatu yang sudah ada atau sudah kita ketahui. Kita tidak
mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan. Selalu ada sesuatu yang yang
tersedia yang kita pergunakan sebagai suatu titik tolak untuk menalar. Titik
tolak tersebut kita namakan “yang telah diketahui”, yaitu sesuatu yang dapat
dijadikan sebagai suatu premis, evidensi, bukti, dasar, bahkan alasan-alasan
darimana hal “yang belum diketahui”, dapat disimpulkan. Hal yang dapat
disimpulkan itulah yang disebut konklusi. Inilah kiranya yang merupakan alasan
mengapa penalaran dapat juga didefinisikan sebagai “berpikir konklusif”,
“berpikir untuk menarik kesimpulan".
Dengan
demikian pengertian sederhana Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum
yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang
hakim memutuskan perkara/kasus hukum, seorang pengacara meng-argumentasikan
hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Namun pengertian
sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana apabila pertanyaan dilanjutkan
kepada: apakah yang dimaksud dengan hukum dan bagaimana sebenarnya atau
seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum dan bagaimana
seorang pengacara mengargumentasikan hukum?
BACA JUGA Legal Reasoning dan Kemanfaatan Hukum
BACA JUGA Legal Reasoning dan Kemanfaatan Hukum
Bagi
beberapa ahli hukum formulasi legal reasoning mengandung pengertian yang ambigu
mengenai apakah legal reasoning adalah reasoning tentang hukum, yaitu apakah
reasoning tersebut mengenai reasoning untuk mencari dasar tentang substansi
hukum yang ada saat ini (dalam memutus perkara, hakim harus mencari reasoning
dari substansi hukum positif yang ada mengenai kasus tersebut), ataukah
reasoning yang diambil dari substansi hukum yang ada itu yang harus diterapkan
pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang dihadapkan kepada hakim
(harus mempertimbangkan semua aspek yang ada termasuk isu mengenai moral dan
lain-lain). Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga
pengertian tentang legal reasoning, yaitu:
Reasoning
untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang sedang
terjadi.
Reasoning
dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang harus
diambil atas suatu perkara yang terjadi.
Reasoning
tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara, dengan
mempertimbangkan semua aspek.
2.
Pendekatan dalam Legal Reasoning
Konsep
atau formula untuk menyelami dunia legal reasoning sehingga menjadi lebih mudah
dipahami, terdiri dari formula IRAC dan formula IRFAC.
Formula
IRAC (Issue, Rule, Analysis, Conclusion), merupakan bentuk-bentuk dasar dari
pembentuk argumentasi hukum, yang ditawarkan oleh Prof. Peter Suber, dari
Philosophy Department, Earlham University. Terdapat 4 (empat) langkah sederhana
Yang harus dilalui oleh setiap hakim dalam membedah perkara yang diajukan
kepadanya, serumit apa pun perkara itu.
- Issue = Fakta-fakta dan keadaan apa saja yang telah membawa para pihak ke pengadilan;
- Rule = Aturan hukum apakah yang berlaku terhadap isu hukum tersebut?
- Analysis = Apakah aturan-aturan hukum tersebut dapat diterapkan terhadap fakta-fakta khusus dari isu hukum tersebut?
- Conclusion = Bagaimana pengaruh dari sikap atau putusan terhadap penegakan hukum?
Langkah
pertama, yaitu menemukan serta mencermati
ISSUE hukumnya. Pada saat mencermati isu hukum ini harus diingat adalah bahwa
“Fakta hukum dari suatu perkara memberikan petunjuk tentang permasalahan atau
isu hukum yang dihadapi”. Dan kuncinya adalah kemampuan hakim untuk
mengidentifikasikan fakta hukum apa telah memunculkan isu hukum apa. Karena
pada asasnya isu hukum itu sangat kompleks, maka setiap pembahasan atau
penambahan suatu fakta hukum juga akan mengurangi atau menambah isu hukum dalam
perkara yang bersangkutan, sehingga dapat memunculkan upaya penegakan hukum
yang baru pula.
Cara
termudah untuk membatasi permasalahan atau isu hukum adalah dengan
mengidentiflkasi isu hukum yang relevan dan isu hukum yang tidak relevan dari
perkara yang bersangkutan. Ketika seorang hakim membaca berkas perkara,
hendaknya selalu menyusun daftar pertanyaan terkait dengan permasalahan atau isu
hukum yang sedang dicermati. Dengan demikian yang bersangkutan akan memiliki
semacam database untuk permasalahan atau isu hukum yang sedang dicermati
tersebut. Database ini akan memudahkan hakim konstitusi dalam melaksanakan
tugas serta tanggung jawabnya secara efektif dan efisien. Sebaliknya, manakala
seorang hakim tidak memiliki database yang tertata secara tepat dan cermat,
maka terdapat kemungkinan akan terjadi error dalam upaya untuk menemukan
fakta-fakta hukum yang relevan, sehingga berakibat salah dalam membedah tahapan
berikutnya dalam formula IRAC, yaitu tahapan Rules (menemukan aturan hukumnya).
Langkah
kedua, yaitu menemukan Rule (aturan
hukum) mana yang diterapkan? pada saat menemukan rule-nya hal yang harus
diyakini adalah bahwa “Permasalahan atau isu hukum tertentu diatur oleh aturan
hukum tertentu pula”. Untuk setiap berkas perkara yang dibaca oleh hakim
misalnya, cobalah untuk membedah penegakan hukumnya dengan mengurai perkara
tersebut menjadi beberapa komponen. Dengan kata lain, tanyakanlah: elemen
aturan hukum manakah yang harus dibuktikan agar penegakan hukum dapat
dilaksanakan secara benar? Terlalu terfokus dan terpaku pada aspek legal formal
atau aturan hukum saja sering menjadi kendala bagi hakim dalam menemukan
rulenya. Padahal, sekalipun aturan hukum merupakan hukum yang harus ditegakkan,
sesungguhnya, seni dari berpraktik hukum adalah terletak pada kemampuan hakim
yang bersangkutan dalam membuat analisis hukum.
Langkah
ketiga, yaitu ANALYSIS. Untuk membentuk
analisis hukum, bandingkan dan cermatilah fakta hukum yang telah ditemukan
dengan aturan hukum yang akan diterapkan. Untuk setiap fakta hukum yang
relevan, hakim harus dapat menjawab apakah fakta hukum yang ditemukan tersebut
dapat membantu dalam membuktikan atau tidak dapat membuktikan sesuatu.
Kesalahan
yang sering terjadi yaitu terdapat kecenderungan untuk hanya menyoroti
permasalahan atau isu hukumnya saja kemudian mengutip aturan-aturan hukum yang
hendak diterapkan, tanpa membuat atau melakukan analisis sama sekali. Padahal,
yang terpenting bukanlah sekadar menemukan hukumnya saja, melainkan juga
menerapkan aturan hukum tersebut terhadap serangkaian fakta atau keadaan yang
dijumpai. Analisis merupakan bagian terpenting dari formula IRAC, karena di
sinilah terjadi proses berpikir atau penalaran (reasoning) yang sesungguhnya.
Langkah
keempat, yaitu CONCLUSION. Berangkat dari analisis, maka akan sampai pada
simpulan, misalnya simpulan bahwa aturan hukum yang digunakan dapat diterapkan
terhadap fakta-fakta hukum yang ada. Dengan membuat simpulan berarti seseorang
telah mengambil sikap berdasarkan hasil analisis yang telah dibuatnya.
Adakalanya seorang hakim menjumpai permasalahan atau isu hukum di mana terjadi
penafsiran ganda bahwa suatu aturan hukum dapat dan sekaligus tidak dapat
diterapkan terhadap serangkaian fakta hukum. Terhadap hal demikian, sangat
bergantung pada seberapa baik kemampuan hakim dalam menganalisis permasalahan
atau isu hukum yang pelik tersebut. Dalam hal ini hakim harus menentukan sikap
serta menunjukkan seberapa tajam kemampuannya dalam menganalisis suatu perkara.
Kesalahan
yang sering terjadi adalah membuat simpulan tanpa memberikan landasan atau
dasar yang kuat bagi pendapat yang dituangkan dalam simpulan tersebut. Dengan
kata lain, praktisi hukum atau hakim hanya sekadar menyoroti suatu isu hukum,
menyebutkan aturan hukum yang diterapkan dan kernudian membuat simpulan tanpa
memberikan analisis yang memadai dan baik.
Pada
prinsipnya, IRAC merupakan alur pembentukan legal reasoning dalam mencermati
setiap permasalahan hukum. Keistimewaan IRAC ini adalah bahwa keduanya
memungkinkan para hakim untuk menyederhanakan kompleksitas permasalahan hukum
menjadi sebuah rumus atau formula sederhana. Kompleksitas teknik pembentukan
argumentasi hukum atau legal reasoning yang bersifat abstrak dapat
disederhanakan menjadi sebuah formula sederhana yang mudah diingat, dipahami,
dan dipraktikkan para hakim.
3.
Karakteristik Legal Reasoning yang Baik
Mengacu
pada pemikiran filsafat praktis dari Aristoteles, Brett G. Scharffs
mengemukakan bahwa legal reasoning yang baik itu tersusun dari tiga gagasan
atau konsep, yaitu:
Pertama,
practical wisdom atau phronesis (tindakan dan aksi) Kedua, craft atau techne
atau keterampilan (cipta atau produksi) Ketiga, rhetorica.
Practical
wisdom adalah memberikan pertimbangan mendalam tentang tindakan atau aksi apa
yang harus dilakukan. Practical wisdom bukanlah semata-mata menerapkan dan
mengikuti aturan perundang-undangan. Practical wisdom bukan pula semata-mata
mengetahui tentang apa yang benar dan apa yang salah, artinya practical wisdom
terkait erat dengan memberikan pertimbangan yang mendalam (deliberation/
bouleusis), menentukan pilihan (choice/proairesis) dari serangkaian pilihan
yang ada, dan pada akhirnya menentukan tindakan (action/praxis) terbaik yang
harus dilakukan.
Menurut
Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh Scharffs, bahwa practical wisdom itu
terbentuk dari komponen intelektualitas dan komponen karakter. Seorang hakim
yang memiliki pratical wisdom senantiasa dapat melakukan pertimbangan mendalam
secara baik. Pertimbangan mendalam tersebut mencakup bagaimana menemukan
sarana-sarana terbaik untuk mencapai tujuan tertentu termasuk menentukan tujuan
yang tepat yang hendak dicapai. Sosok hakim yang demikian ini dikatakan sebagai
hakim yang memiliki intelektualitas yang tinggi.
Komponen
kedua yang membentuk practical wisdom adalah karakter.
Terdapat
beberapa karakter yang dapat memfasilitasi terbentuknya practical wisdom, yaitu
simpati dan ketulusan. Selain kedua karakter, terdapat pula beberapa karakter
lainnya yang harus dimiliki seorang hakim agar dapat dikatakan sebagai pribadi
hakim yang memiliki practical wisdom, yaitu: adil, pemaaf, dan rendah hati.
Craft,
merupakan kemampuan atau kapasitas yang tinggi untuk membuat atau menciptakan
sesuatu. Berbeda dengan practical wisdom yang memiliki beberapa komponen
pembentuk, craft hanya memiliki satu komponen, yaitu intelektualitas. Craft
terbentuk dari pemanfaatan materi-materi dan sarana-sarana secara terampil. Dalam
bidang hukum, materi-materi dimaksud meliputi sumber-sumber hukum (seperti:
konstitusi dan ketentuan perundang-undangan), prinsip-prinsip dan
pemikiran-pemikiran dasar tentang hukum (termasuk prinsip kemerdekaan,
kesetaraan, keadilan, dan proses hukum yang adil), serta berbagai rangkaian
peraturan dan pedoman Seorang hakim yang baik sekaligus adalah seorang pembuat
(putusan) yang baik. Ia tidak hanya belajar peraturan perundang-undangan dan
teori melainkan juga senantiasa mengembangkan pengetahuannya. Ia juga selalu
berupaya untuk mengembangkan sikap dan kebiasaan yang baik melalui proses
belajar.
Rhetoric,
adalah persuasi. Aristoteles mendefinisikan retorika sebagai “kemampuan untuk
menemukan sarana-sarana persuasi yang tersedia". Definisi yang diberikan
oleh Aristoteles ini menarik karena Aristoteles membedakan antara tujuan
eksternal dan tujuan internal dari retorika. Tujuan eksternal dari suatu
retorika adalah untuk memenangkan atau berhasil membujuk (successfully
persuading) audiensinya. Keberhasilan upaya persuasi ini diukur dari hasil yang
diperoleh dari argumen yang telah dibangunnya. Sedangkan, tujuan internal
berkaitan erat dengan penyusunan argumentasi terbaik yang mungkin dibuat dalam
suatu keadaan tertentu dan dengan memanfaatkan sarana-sarana persuasi yang
tersedia.
Legal
reasoning yang baik menurut Scharffs adalah hasil kombinasi antara practical
wisdom, craft dan rhetoric. Hakim yang baik adalah hakim yang dapat
mengombinasikan skill atau karakter practical wisdom (kearifan dalam berpraktik
hukum) , keterampilan dan retorika. Masing-masing dari ketiga konsep tersebut
merupakan komponen esensial dari suatu legal reasoning yang baik. Ketiganya
memiliki signifikansi dan arti penting yang setara. Berikut penjelasan dari
ketiga komponen tersebut.
Tugas
hakim dalam membuat putusan sangat tedrkait dengan tujuan atau fokus dari
practical wisdom, craft maupun rethoric. Dalam membuat putusan hakim
membutuhkan pertimbangan yang mendalam (practical wisdom), menentukan pilihan
dari serangkaian pilihan yang tersedia (craft), dan pada akhirnya menentukan
tindakan atau aksi yang akan diambilnya (rethoric). Pendapat hukum (Legal
Opinion) yang kemudian dituangkan hakim dalam putusannya pun merupakan sesuatu
yang dapat dikritisi dan dipuji sebagai pendapat hukum yang baik, tegas serta
memiliki kemanfaatan yang tinggi.
Catatan
kaki
Edi
Riadi, Dr., S.H.,M.H. Penalaran Hukum dalam Penyelesaian Kasus Perdata Agama
(Faktor Peristiwa, Fakta Hukum dan Perumusan Fakta Hukum). Majalah Varia
Peradilan Nomor 325, Jakarta, Edisi Desember 2002.
Eman
Suparman, dalam Makna Hukum dan Tugas Hakim (Problematik Hukum dan Etika-Sebuah
Pendekatan Konseptual). Konggres llmu Hukum “Refleksi dan Rekonstruksi llmu
Hukum Indonesia”, tanggal 1920 Oktober 2012, Semarang.
J.A.
Pontier. 2008. Penemuan Hukum. Penerjemah B. Arief Sidharta. Bandung: Jendela
Mas Pustaka.
Mertokusumo,
Prof.Dr., S.H. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Edisi Kelima. Cet. Kedua.
Yogyakarta: Liberty.
H.M.
Soerya Respationo. “Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas Hukum Ref|eksif Dalam
Penegakan Hukum”. Jurnal Hukum Yustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus
2013.
Satjipto
Rahardjo. 1997. llmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sudikno
Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Surajivo,
dkk. 2007. Dasar-Dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara.
0 komentar:
Post a Comment