MENGUBAH ATAU MENAMBAH ISI GUGATAN
Perubahan
gugatan dapat terjadi dengan mengubah atau menambah gugatan. Mengubah
atau menambah gugatan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang sempurna. Hal ini karena kurang cermat atau
kurang teliti, atau karena kelupaan sehingga perlu melakukan pengubahan
dan/atau menambah gugatan.
Pada
satu sisi, melakukan pengubahan dan/atau menambah gugatan adalah hak
penggugat. Meskipun demikian, dalam melakukan pengubahan dan/atau
menambah gugatan dilakukan dengan tidak merugikan pihak lain. Dikatakan
merupakan hak penggugat mempunyai pengertian bahwa hakim dan tergugat
tidak boleh menghalangi atau melarang Pengguggat untuk menggunakan
haknya, asalkan dalam kerangka hukum yang diperkenankan. Yang
diperbolehkan adalah hak penggugat sebagaimana dikemukakan itu terbatas
hanya terhadap pembolehan melakukan pengubahan atau menambah, termasuk
mengurangi gugatan. Jadi, melakukan pengubahan dan/atau menambah gugatan tidak merugikan pihak tergugat.
Mengubah
gugatan adalah pengubahan terhadap isi atau substansi gugatan sehingga
berbeda dari isi atau substansi gugatan sebelumnya. Apakah isi atau
substansi gugatan dapat diubah? HIR/RBg tidak mengatur tentang mengubah
atau menambah gugatan. Menurut Pasal 127 Rv,
pengubahan gugatan sepanjang pemeriksaan dibolehkan, asal tidak mengubah
atau manambah petitum gugatan/tuntutan pokok (onderwerp van den eis).
Pengertian anderwerp van den eis dalam praktik juga meliputi dasar
tuntutan (posita, termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
tuntutan). Misalnya, penggugat semula menuntut tergugat agar
membayar utangnya atas dasar perjanjian utang piutang, kemudian diubah
atas dasar perjanjian titipan utang penggugat pada tergugat. Perubahan
demikian ini tidak diperkenankan.
Jadi, menurut Pasal 127
Rv, mengubah/menambah bahkan mengurangi gugatan merupakan hak penggugat
sampai perkaranya diputus dengan persyaratan bahwa mengubah atau
menambah gugatan itu tidak mengubah atau menambah tuntutan pokok
(petitum) gugatannya. Oleh karena itu, dalam hal demikian persetujuan
dari tergugat sangat penting.
Meskipun HIR/RBg tidak mengatur
tentang perubahan gugatan, hakim dapat leluasa untuk menentukan sampai
di mana perubahan gugatan diperkenankan. Sebagai patokannya adalah
pengubahan atau penambahan gugatan diperkenankan dengan ketentuan bahwa
kepentingan-kepentingan kedua belah pihak, baik kepentingan penggugat,
dan terutama tergugat sebagai orang yang diserang, jangan sampai
dirugikan. Atau secara leterlijk, pengubahan gugatan dapat berarti bahwa
pengubahan terhadap posita atau petitum-nya sehingga mengurangi bagian
posita atau petitum, menambah posita atau pilihan retitum serta dapat
pula memperbaiki hal-hal tertentu yang bersifat teknis dalam gugatan
(Lilik Mulyadi, 1999: 83).
Dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, hlm. 123,
dikatakan bahwa pengubahan dan/atau penambahan gugatan diperkenankan
asal diajukan pada sidang pertama di mana para pihak hadir, tetapi hal
tersebut harus ditanyakan kepada pihak lawannya guna pembelaan
kepentingannya pengubahan dan/atau penambahan gugat tidak boleh
sedemikian rupa sehingga dasar pokok gugatan menjadi lain dari materi
yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak tersebut. Dalam hal
demikian maka surat-surat harus dicabut.
Menurut Pasal 127
RV dikatakan bahwa tidak dibenarkan mengubah gugatan kalau pengubahan
itu mengubah atau menambah pokok gugatan. Jadi, apakah gugatan itu boleh
diubah atau tidak, maka hal itu merupakan batasan pokok pengubahan.
Yang dimaksud dengan pokok gugatan adalah kejadian materiil gugatan
(Soebekti), hal-hal yang menjadi dasar tuntutan (Soepomo), dasar
tuntutan, termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan
(Sudikno Mertokusumo), dan juga diartikan sebagai posita atau petitum
gugatan (materi pokok gugatan). Secara umum pengertian pokok gugatan
adalah materi pokok gugatan atau materi pokok tuntutan atau kejadian
materiil pokok gugatan (Yahaya Harahap. 2007: 98).
Mengenai
pengubahan gugatan, MA berpendapat bahwa pengubahan atau penambahan
gugatan diperkenankan asal tidak mengubah dasar gugatan (posita) dan
tidak merugikan kepentingan tergugat (Putusan MA tgl. 11 maret 1970 No.
454 K/Sip/1970). Kemudian, Putusan MA tgl. 6 Maret 1971 No. 209
K/Sip/1971
memutuskan bahwa penambahan gugatan tidak bertentangan dengan asas
hukum acara perdata, asalkan tidak mengubah atau menyimpang dari
kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair: untuk peradilan
yang adil. Putusan MA No. 9343 K/Pdt/1984 tgl 19 September 1985
menyatakan bahwa sesuai jurisprudensi, perubahan tuntutan selama
persidangan diperbolehkan.
Perubahan
gugatan dilarang jika atas keadaan yang sama dimohon pelaksanaan suatu
hak yang lain atau apabila penggugat mengemukakan keadaan yang baru
sehingga terdapat petitum yang berbeda dari sebelumnya. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa melakukan pengubahan atau menambah suatu gugatan
perdata diperbolehkan dengan ketentuan bahwa pengubahan itu tidak
menyimpang dari kejadian materiil yang menjadi dasar gugatan/tuntutan dan tidak merugikan hak dari pihak lawan atau tergugat.
Sehubungan
dengan hak tersebut, pertanyaannya adalah kapan hak tersebut
dilaksanakan? Berdasarkan ketentuan Pasal 127 Rv dan dalam praktik
peradilan, perubahan gugatan kemungkinan dapat dilakukan dengan batas
waktu sebagai berikut.
- Perubahan gugatan sebelum dikirimkan kepada pihak lawan. Dalam hal demikian, si penggugat dapat menghubungi petugas pengadian untuk mengganti gugatan dengan gugatan yang sudah diperbaiki.
- Perubahan gugatan sesudah dikirimkan kepada pihak lawan. Kalau gugatan sudah terlanjur dikirim kepada pihak lawan, ada dua hal yang harus dipertimbangkan oleh Si penggugat;
- Apabila perubahan bersifat fatal, dalam arti mengubah posita atau petitum yang sangat prinsip, surat gugatan harus dicabut terlebih dahulu. Meskipun kehilangan biaya pendaftaran dan nomor perkara, gugatan itu harus dicabut terlebih dahulu, karena kalau perkara sudah disidangkan, kecil kemungkinan disetujui hakim atau pihak lawan (tergugat).
- Apabila perubahan tidak prinsip, perubahan dapat dilakukan pada sidang pertama atau tahap perdamaian/mediasi atau pada saat si tergugat belum meyampaikan jawaban. Dalam hal ini tidak diperlukan izin si tergugat dan bahkan pada tahap ini si penggugat mempunyai hak penuh untuk mencabut gugatannya.
- Perubahan gugatan dalam tingkat persidangan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 127 Rv penggugat pada prinsipnya dapat melakukan pengubahan gugatan saat perkaranya belum diputus. Hal ini berarti selama persidangan berlangsung penggugat berhak untuk mengajukan perubahan gugatan. Untuk itu perlu diperhatikan hal berikut.
- Jika perubahan gugatan sebelum si tergugat menyampaikan jawaban, si penggugat dapat menyampaikan kepada hakim tanpa perlu persetujuan dari si tergugat.
- Jika perubahan gugatan dilakukan setelah tergugat menyampaikan jawaban, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari si tergugat.
- Jika perubahan gugatan dilakukan pada tingkat pemeriksaan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari si tergugat (Achmad Fauzan, 2007: 7476).
Menurut Lilik Mulyadi (1999: 84), batas waktu melakukan perubahan gugatan pada prinsipnya dibagi dua tahap, yaitu berikut ini
- Tahap sebelum tergugat mengajukan jawaban, maka perubahan itu tanpa izin tergugat.
- Tahap sesudah tergugat mengajukan jawaban, maka perubahan itu hanya dapat dilakukan dengan seizin tergugat dengan mempertimbangkan hal sebagai berikut.
- Perubahan gugatan tidak menyebabkan kepentingan kedua belah pihak dirugikan, terutama terhadap kepentingan tergugat.
- Perubahan tidak menyinggung kejadian materiil sebagai penyebab timbulnya perkara.
- Perubahan itu tidak boleh menimbulkan keadaan baru dalam positanya.
Batas waktu pengajuan perubahan gugatan, menurut Yahya Harahap (2007: 94), dapat tetjadi pada saat berikut
- Sampai saat perkara diputus. Tenggang batas waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv, yakni penggugat berhak mengajukan atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus.
- Sampai pada hari sidang pertama. Mengenai hal ini ditegaskan dalam Buku Pedoman, yakni perubahan gugatan hanya boleh dilakukan pada sidang pertama dan disyaratkan para pihak harus hadir. Perubahan dalam tahap ini dianggap tidak realistis dan membatasi waktunya (reskriktif).
- Sampai tahap replik-duplik. Batas waktu ini dianggap lebih layak dan memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak. Dalam pratik peradilan cenderung menerapkannya, misalnya dalam putusan MA No. 546 K/Sip/1970, menggariskan perubahan gugatan tidak dapat dibenarkan apabila tahap pemeriksaan sudah selesai, konklusinya sudah dikemukakan, dan kedua belah pihak telah memohon putusan.
Dengan demikian, pengajuan perubahan gugatan harus melihat
dari segi keseimbangan kepentingan dan keadilan. Perubahan gugatan
tidak dibenarkan lagi apabila tahap pemeriksaan sudah selesai dan
konklusi sudah diajukan pihak-pihak. Dalam hal demikian harus
diperhatikan apakah pengajuan perubahan gugatan itu sebelum atau selama persidangan.
Sebelum persidangan, apalagi belum sampai ke tangan tergugat, tidak
perlu persetujuan tergugat. Namun apabila sudah sampai ke tangan si
tergugat, bahkan persidangan sudah berjalan, perlu adanya persetujan
dari tergugat.
Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dinyatakan bahwa perubahan gugatan dapat dilakukan
pada pengadilan tingkat pertama (PN) dan tingkat banding, asal pihak
Tergugat diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan membela
diri (Putusan MA No. 943 K/Sip/1984 tanggal 19 Setember 1985).
Pasal 127
Rv tidak mengajukan syarat formil pengajuan perubahan dan/atau
penambahan gugatan, tetapi dalam praktek peradilan, syarat formil
tersebut sebagai berikut:
- Perubahan dan/atau menambah gugatan diperkenankan asalkan diajukan pada sidang pertama, di mana pihak tergugat juga hadir.
- Ditanyakan dahulu kepada pihak lawannya guna pembelaan kepentingannya.
- Perubahan dan/atau menambah gugatan tidak boleh mengubah dasar pokok gugatan. Kalau hal ini terjadi, gugatan harus dicabut terlebih dahulu.
- Perubahan dan/atau menambah gugatan tidak menghambat acara pemeriksaan.
- Perubahan dan/atau menambah gugatan diperkenankan sepenuhnya kepada wewenang hakim untuk mempertimbangkannya.
0 komentar:
Post a Comment