KRITERIA TINDAK PIDANA RINGAN
Berkaitan dengan perkara pidana,
penanganan dan penyelesaian yang tuntas atas setiap tindak pidana yang
terjadi dengan tetap mengedapankan nilai-nilai kearifan lokal yang telah
turun-temurun dimiliki dan menjadi jati diri bangsa Indonesia seperti
musyawarah untuk mufakat, upaya mengembalikan keseimbangan yang timpang
sebagai akibat suatu tindak pidana maupun terciptanya kembali kehidupan
harmonis di tengah-tengah masyarakat menjadi harapan dan dambaan segenap
masyarakat. Begitu pula dalam kasus yang tergolong tindak pidana
ringan, maka sensitivitas penanganan oleh penegak hukum haruslah
berpihak pada kemanusiaan secara proporsional, apalagi dengan berlakunya
Perma 02/2012 yang memberikan pengaruh dan
dampak signifikan dalam penanganan perkara-perkara pidana dengan nilai
kerugian yang relatif kecil, semuanya demi terciptanya keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan serta tertib hidup di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini sejalan dengan doktrin John Rawls, pencetus teori
keadilan yang paling komprehensif yang mengemukakan teori keseimbangan
sebagai bagian dari konsep keadilan yaitu perlu ada keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari
keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan.
[1] Dalam konteks hukum adat, menurut B. Ter Haar Bzn., dikemukakan pula
adanya keseimbangan (evenwicht) dengan menyatakan bahwa keadaan yang
biasa (normal) dari umat manusia dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan
gaib, tanah, dan barang-barang Iain yang bahagia dan harmonis dapat
dicapai apabila tercipta keseimbangan, sehingga terjadinya pelanggaran
(delict) merupakan gangguan terhadap keseimbangan yang menimbulkan
reaksi adat yang harus dilakukan melalui penuntutan
pembayaran-pembayaran pelanggaran (delictsbetalingen) untuk
memulihkan/ mengembalikan keseimbangan kosmis, di mana keseimbangan
tersebut menjadi prasyarat kebahagiaan umat manusia.[2]
Dalam
tataran internasional, dinamika restorative justice memperoleh
pengukuhan dalam Vienna Declaration on Crime and Justice tahun 2000
yang mendorong pengembangan kebijakan, prosedur, dan program
restorative justice yang menghormati sepenuhnya hak-hak, kebutuhan dan
kepentingan korban, pelaku, masyarakat, dan semua pihak yang terkait.
Selanjutnya pada tahun 2005, Deklarasi PBB ke-11
tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana (Prevention of
Crimes and Treatment of Offenders) mengimbau negara anggota untuk
mengakui pentingya mengembangkan kebijakan, prosedur dan program
restorative justice yang merupakan alternatif penuntutan tindak pidana.
Sebelumnya di dalam Laporan Kongres ke-9 tahun 1995
tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana dikemukakan bahwa
salah satu kunci agenda pembaruan hukum pidana dalam kerangka
restorative justice adalah perlunya memperkaya sistem peradilan formal
dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian perkara yang
sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia yang di antaranya adalah
dorongan untuk menerapkan restitusi, kompensasi, dan mediasi penal.
Mediasi
penal bisa digunakan untuk menangani perkara yang dilakukan oleh orang
dewasa maupun anak-anak. Barda Nawawi Arif menjelaskan bahwa metode ini
melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator
yang ditunjuk. Mediator dapat berasal dari pejabat formal seperti
polisi, jaksa, hakim, petugas pemasyarakatan maupun mediator independen,
atau kombinasi [3]. Mediasi penal dapat dilakukan dalam setiap tahapan
proses, baik pada tahap kebijakan polisi, tahap penuntutan, tahap
pemeriksaan di sidang pengadilan, pemidanaan atau setelah pemidanaan.
Mediasi penal memiliki beberapa keunggulan di antaranya karena:
- Dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan.
- Merupakan salah satu proses penyelesaian perkara yang dianggap lebih cepat, murah, dan sederhana.
- Dapat memberikan kemungkinan pemulihan hubungan baik dan kepuasan para pihak yang terlibat dalam suatu perkara sehingga berpotensi mengembalikan kepada keadaan semula dan menyelesaikan masalah secara tuntas.
Dengan berlakunya Perma 02/2012
Batasan Tipiring dan Jumlah Denda, sesuai dengan ketentuan Pasal 1
Perma yang menyatakan bahwa kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah"
dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407, dan Pasal 482 dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (duajuta Iima ratus ribu rupiah), maka tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana ringan adalah:
- Pencurian Ringan (vide Pasal 364 KUHP), yaitu pencurian dengan nilai/harga barang tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) yang mencakup 3 (tiga) jenis cara melakukan pencurian, yaitu:
- Pencurian (pada umumnya) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP:
- Pencurian dalam keadaan memberatkan menurut Pasal 363 ayat (4) KUHP, yakni pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau Iebih dengan bersekutu, dan
- Pencurian dalam keadaan memberatkan menurut Pasal 363 ayat (5) KUHP, yakni pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambilnya dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Sepanjang ketiga jenis pencurian di atas tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya.
Dengan demikian ketiga jenis pencurian di atas apabila dilakukan terhadap barang atau uang yang nilai/harganya tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta Iima ratus ribu rupiah) maka termasuk dalam pengertian pencurian ringan menurut Pasal 364 KUHP, sedangkan pencurian dalam keadaan memberatkan Iainnya menurut
Pasal 363 KUHP selain ayat (4) dan (5) tidak termasuk pencurian ringan.
Dengan demikian ketiga jenis pencurian di atas apabila dilakukan terhadap barang atau uang yang nilai/harganya tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta Iima ratus ribu rupiah) maka termasuk dalam pengertian pencurian ringan menurut Pasal 364 KUHP, sedangkan pencurian dalam keadaan memberatkan Iainnya menurut
Pasal 363 KUHP selain ayat (4) dan (5) tidak termasuk pencurian ringan.
- Penggelapan Ringan (vide Pasal 373 KUHP);
- Penipuan Ringan (vide Pasal 379 KUHP);
- Penipuan Ringan oleh Penjual Barang (vide Pasal 384 KUHP);
- Perusakan Ringan (vide Pasal 407 KUHP); dan
- Penadahan Ringan (vide Pasal 482 KUHP).
Terobosan
hukum yang dapat dilakukan oleh pengadilan terhadap perkara tindak
pidana ringan di atas dalam mengupayakan penyelesaian perkara melalui
mediasi penal dilakukan dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut:
- Dalam proses persidangan tidak dilakukan penahanan.
- Proses pemeriksaan sidang dan penyelesaian perkara diupayakan secepat mungkin tanpa mengurangi ketelitian dengan tetap memenuhi ketentuan hukum acara yang berlaku.
- Peran hakim sebagai pembaru hukum dilakukan terutama melalui fungsi mengadili yang menghasilkan putusan. Putusan hakim yang merupakan salah satu sumber hukum diharapkan dapat menjadi sarana pembaruan masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Roscoe Pound bahwa hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Mengingat bahwa pembangunan sosial-ekonomi selalu membawa perubahan-perubahan. seharusnya hukum ikut mengambil peran, sehingga perubahan-perubahan tersebut dapat dikontrol agar berlangsung tertib. Di Indonesia, konsep ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum tidak cukup berperan sebagai alat, tetapi juga sebagai sarana pembaruan masyarakat yang maknanya lebih luas dari pada alat (tool). Hukum diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaruan itu. [4] Karena itu diusahakan sedapat mungkin untuk mendorong pelaku, korban dan keluarga masing-masing untuk melakukan mediasi penal dengan melibatkan kepala Iingkungan, guru, tokoh masyarakat. tokoh adat maupun tokoh agama. di mana tokoh masyarakat dan tokoh agama ini diperlukan di satu sisi untuk Ikut berperan aktif demi tercapainya kesepakatan damai di antara para pelaku dan korban beserta keluarga masing-masing dan menjaga agar kesepakatan yang terjadi diterima puIa dan sesuai dengan harapan serta tertib hidup dalam masyarakat dan di sisi lain juga berperan ke depan dalam mengawasi pelaksanaan kesepakatan maupun mengawasi tingkah Iaku pelaku agar tidak mengulangi perbuatan dan berubah menjadi lebih baik. Nantinya apabila pelaku dihukum ringan oleh pengadilan, pengawasan masyarakat tersebut sekaligus juga sebagai bentuk sanksi sosial dari masyarakat kepada pelaku. Selain itu, atas dasar tersebut dikembangkan pula teknik dan cara-cara mediasi untuk membuka kemungkinan yang lebih besar bagi terciptanya restorative justice melalui mediasi penal yang ditempuh dengan serangkaian musyawarah/negosiasi untuk mencapai kesepakatan yang memberikan keadilan yang dirasakan memuaskan semua pihak.
- Putusan yang dijatuhkan proporsional dengan tindak pidana yang diakukan. [5]
Catatan kaki
1 Darji Darmodihardjo dan sidharta. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cet. Revisi (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Uatama, 1999) hlm.159.
2 B. Ter Haar Bzn., 1999. hlm. 226-227.
3 Barda Nawawi Arif. 2008. hlm. 37.
4 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional-Suatu Uraian tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia (Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 1976) hlm.10.
5 Edy Wibowo, Responsibilitas Badan Peradilan Melalui Reaktualisasi Implementasi PERMA Batasan Tipiring dan Jumlah Denda dalam Varia Peradilan No. 372 November 2016. hlm. 50.
0 komentar:
Post a Comment