Friday, July 19, 2019

CONTEMPT OF COURT UNTUK MENEGAKKAN MARTABAT DAN WIBAWA PERADILAN


Dikaji dari perspektif historis, terminologi contempt of court dikenal dalam common law system atau case law. Tradi si contempt of court lahir, turnbuh dan berkembang melalui paham pada abad pertengahan korelasi dengan bentuk kerajaan Inggris, di mana raja-raja memerintahkan dengan hak-hak seperti Tuhan. Semua orang harus tunduk pada raja sebagai kekuasaan tertinggi. Raja merupakan sumber hukum dan keadilan yang kekuasaannya didelegasikan kepada para aparatnya. Konsekuensi logisnya, contempt of court dipandang identik sebagai contempt of the King. Kenyataan tersebut diperkuat oleh Bracton, seorang penulis hukum Inggris pada tahun 1260, yang menyatakan There is no greater crime than contempt and disobedience, for all person ought to be subject to the king as supreme and to this officer. [1]
Pada negara Indonesia, terminologi dan pengertian contempt of court dari perspektif peraturan perundang-undangan pertama kali terdapat dalam butir empat alinea keempat Penjelasan Umum UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pada peraturan tersebut, contempt of court dirasakan penting eksistensinya. Hakikatnya, penjelasan umum tersebut menyebutkan, bahwa: 
”Selanjutnya untuk dapat Iebih menjamin terciptanya suasana yang sebaikbaiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah Iaku, sikap dan/ atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai ”Contempt of Court”. 
Dari perspektif butir empat alinea keempat Penjelasan Umum UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pengertian contempt of court merupakan segala perbuatan, tingkah Iaku, sikap dan/atau ucapan yang dapat: merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan. Tegasnya, konteks tersebut terutama tendens kepada dimensi pada wibawa, martabat, dan kehormatan badan peradilan di mana dalam suatu lembaga yang abstrak hakikatnya tertuju kepada manusia yang menggerakkan lembaga tersebut, hasil buatan lembaga dan proses kegiatan dari lembaga tersebut.
Kemudian dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa, contempt of cout adalah: 
”An act which is calculated to embarrass, hinder or obstruct court in administration of justice or which is calculated to lessen its authority or its dignity. Committed by a person who does any act in willful contravention of its authority or its dignity, or tending to impede or frustate the administration of juctice or by one who, being under the the court’s authority as a party to a proceeding there in, willfully disbbeys its lawful orders or fails to comply with an undertalking which he has given”.[2] (setiap perbuatan yang dapat dianggap mempermalukan, menghalangi atau merintangi tugas peradilan dari badan-badan pengadilan, ataupun segala tindakan yang dapat mengurangi kewibawaannya atau martabatnya. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dengan sengaja menentang atau melanggar kewibawaannya atau menggagalkan tugas peradilan atau dilakukan oleh seseorang yang menjadi pihak dalam perkara yang diadili, yang dengan sengaja tidak mematuhi perintah pengadilan yang sah). 
Konklusi konteks di atas, ditarik suatu “benang merah” bahwa pengertian contempt of court adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh orang yang terlibat dalam suatu proses perkara maupun tidak, di dalam maupun di luar pengadilan, dilakukan perbuatan secara aktif ataupun pasif berupa tidak berbuat yang bermaksud mencampuri atau mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan peradilan yang seharusnya (the due administration of justice), merendahkan kewibawaan dan martabat pengadilan atau menghalangi pejabat pengadilan di dalam menjalankan peradilan. Indonesia, sebagai sebuah negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) diartikan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara harus diatur, sesuai dan dijalankan berdasarkan atas hukum. Dalam konteks ini, selain kekuasaan eksekutif dan legislatif, terdapat kekuasaan yudikatif dalam manifestasi berbentuk kekuasaan kehakiman. Pada kekuasaan kehakiman terdapat asas fundamental berupa independence of judiciary. Asas tersebut mengandung makna bahwa jalannya proses peradilan harus dijamin sedemikian rupa agar terhindar dari segala bentuk penggaruh, tekanan, ancaman yang datang dari pihak manapun juga yang berpotensi dapat mereduksi keluhuran asas tersebut. Asas independence of judiciary merupakan asas bersifat universal dan diberlakukan di pelbagai negara. Dari konteks asas tersebut di atas, proses peradilan harus dijalankan secara terbuka, objektif, imparsial sesuai dengan ketentuan hukum dan rasa keadilan. Sedemikian pentingnya kedudukan dan fungsi asas tersebut sehingga mendapatkan pengaturan secara khusus dalam UUD 1945 serta kernudian dijabarkan ke dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Siapa pun juga, tanpa terkecuali, berkewajiban untuk menghormati martabat, keluhuran dan wibawa lembaga pengadilan maupun segenap aparatumya.
Namun demikian, dalam dinamika perkembangan akhir-akhir ini terdapat fenomena menarik yang dapat mereduksi martabat, keluhuran dan wibawa lembaga peradilan beserta aparatumya. Terutama harkat dan wibawa hakim. Sikap dan tindakan yang ditampilkan oleh pencari keadilan, praktisi hukum, kalangan pers, organisasi sosial politik, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, komisi yudisial, serta berbagai pihak lainnya yang sedemikian rupa dapat dikategorisasikan mencederai martabat, keluhuran dan wibawa peradilan, baik sikap dan tindakan yang ditujukan terhadap proses peradilan, pejabat peradilan, maupun putusan pengadilan. 
Selain itu, pada pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam praktik ketatanegaraan relatif rentan dapat diintervensi, baik melalui kebijakan hukum pembuat undang-undang, lembaga harizontal, kekuatan di dalam masyarakat (organisasi massa, media massa, partai politik) melalui pembentukan pendapat umum (public opinion) pada saat peradilan sedang berlangsung. Pengaruh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik kekuasaan atau kekerasan atau pengerahan massa yang bersifat anarkis, mewarnai proses peradilan sehingga mengganggu penyelenggaraan proses peradilan. Misalnya, pembunuhan Hakim Ahmad Taufiks, pembunuhan Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita, gedung Pengadilan Negeri Larantuka dibakar massa”, Pengadilan Negeri Temanggung dirusak massa“, Pengadilan Negeri Pasuruan dilempar dengan bom molotov, advokat Adnan Buyung Nasution berteriak di ruang persidangan", Terdakwa Abubakar Ba'asyir dan pengacaranya, serta hakim ad hoc tipikor walk out dari ruang persidangan", Pangacara terdakwa walk out,  Putusan Mahkamah Agung tidak dipatuhi Institut Penanian Bogor (IPB)“, Pengacara ngamuk", Pengadilan Negeri Gorontalo ditembaki orang“, PN Depok diintimidasi", dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya, urgensi dan latar belakang tentang undang-undang contempt of court penting eksistensinya. Hal ini dapat dilihat dari jalannya persidangan. Dalam kasus yang menarik perhatian masyarakat, gedung pengadilan hampir dapat dipastikan penuh pengunjung yang tidak jarang menimbulkan kegaduhan di ruang sidang dengan bersorak, bertepuk tangan, yang tentunya akan mengganggu jalannya persidangan. Selain itu, kadang ada massa berdemonstrasi menuntut dihentikan proses persidangan, dituntut hukum mati, dibebaskan terdakwa dan lain sebagainya. Kemudian juga terjadi pengacara meninggalkan persidangan atau menginterupsi dengan keras putusan hakim, terdakwa menyerang hakim akibat tidak puas dengan putusan hakim.
Di luar persidangan, pemberitaan besar-besaran terhadap suatu kasus atau kritikan yang disampaikan secara terbuka melalui media massa (trial by the press) sering kali terjadi dan tidak jarang pula bahwa pers mengeluarkan pemberitaaan atau pernyataan yang menimbulkan situasi atau kondisi yang berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan. Dampak dari pemberitaan tersebut adanya kesan bahwa seseorang yang diajukan ke depan pengadilan seolah-olah bersalah walaupun proses persidangan itu belum selesai. [3]
Dari dimensi lain, sebenamya eksistensi contempt of court ibarat “pedang bermata dua”. Di satu sisi, upaya menegakkan kewibawaan lembaga peradilan, dan di sisi Iainnya akan menjadi boomerang bagi masyarakat. Aspek ini lebih jauh disebutkan Wahyu Wagiman sebagai berikut:[4]
’'Adanya ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) di satu sisi merupakan upaya yang baik untuk menegakkan kewibawaan lembaga peradilan yang saat ini dinilai tidak Iagi terhormat di mata masyarakat. Namun, di sisi Iain ketentuan ini akan menjadi boomerang bagi masyarakat, apabila adanya ketentuan mengenai tindak pidana contempt of court ini semata-mata untuk memperkuat posisi hakim atau pejabat peradilan Iainnya, yang notabene sudah memilki kedudukan yang kuat dalam proses peradilan.
 
Catatan Kaki
1 Nico Keyzer, Contempt of Court, Bahan Ceramah di Badan Pembinaan Hukum Nasional, 17 Agustus 1987, hlm. 2.
2 Henry Black Campbell, Black‘s Law Dictionary, St. Paul. MINN West Publishing Co" Fifth Edition, 1979, hlm. 390. 
3 Wahyu Wagiman, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 2 Contempt of Court dalam Rancangan KUHP 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), September, 2005, hlm. 4 
4 Ibid

0 komentar:

Post a Comment