CONTEMPT OF COURT UNTUK MENEGAKKAN MARTABAT DAN WIBAWA PERADILAN
Dikaji dari perspektif historis, terminologi contempt of court dikenal
dalam common law system atau case law. Tradi si contempt of court lahir,
turnbuh dan berkembang melalui paham pada abad pertengahan
korelasi dengan bentuk kerajaan Inggris, di mana raja-raja memerintahkan
dengan hak-hak seperti Tuhan. Semua orang harus tunduk pada raja sebagai kekuasaan tertinggi.
Raja merupakan sumber hukum dan keadilan yang kekuasaannya
didelegasikan kepada para aparatnya. Konsekuensi logisnya, contempt of
court dipandang identik sebagai contempt of the King. Kenyataan tersebut
diperkuat oleh Bracton, seorang penulis hukum Inggris pada tahun 1260,
yang menyatakan There is no greater crime than contempt and
disobedience, for all person ought to be subject to the king as supreme
and to this officer. [1]
Pada negara Indonesia, terminologi dan
pengertian contempt of court dari perspektif peraturan perundang-undangan
pertama kali terdapat dalam butir empat alinea keempat Penjelasan Umum
UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Pada peraturan tersebut, contempt of court dirasakan penting
eksistensinya. Hakikatnya, penjelasan umum tersebut menyebutkan, bahwa:
”Selanjutnya
untuk dapat Iebih menjamin terciptanya suasana yang sebaikbaiknya bagi
penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur
penindakan terhadap perbuatan, tingkah Iaku, sikap dan/ atau ucapan yang
dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan
badan peradilan yang dikenal sebagai ”Contempt of Court”.
Dari perspektif butir empat alinea keempat Penjelasan Umum UU Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, pengertian contempt of court merupakan segala
perbuatan, tingkah Iaku, sikap dan/atau ucapan yang dapat: merendahkan
dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan.
Tegasnya, konteks tersebut terutama tendens kepada dimensi pada wibawa,
martabat, dan kehormatan badan peradilan di mana dalam suatu lembaga
yang abstrak hakikatnya tertuju kepada manusia yang menggerakkan lembaga
tersebut, hasil buatan lembaga dan proses kegiatan dari lembaga
tersebut.
Kemudian dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa, contempt of cout adalah:
”An
act which is calculated to embarrass, hinder or obstruct court in
administration of justice or which is calculated to lessen its authority
or its dignity. Committed by a person who does any act in
willful contravention of its authority or its dignity, or tending to
impede or frustate the administration of juctice or by one who, being
under the the court’s authority as a party to a proceeding there in,
willfully disbbeys its lawful orders or fails to comply with an
undertalking which he has given”.[2] (setiap perbuatan yang dapat dianggap
mempermalukan, menghalangi atau merintangi tugas peradilan dari
badan-badan pengadilan, ataupun segala tindakan yang dapat mengurangi
kewibawaannya atau martabatnya. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang
yang dengan sengaja menentang atau melanggar kewibawaannya atau
menggagalkan tugas peradilan atau dilakukan oleh seseorang yang menjadi
pihak dalam perkara yang diadili, yang dengan sengaja tidak mematuhi
perintah pengadilan yang sah).
Konklusi konteks di atas, ditarik
suatu “benang merah” bahwa pengertian contempt of court adalah tindak
pidana yang dapat dilakukan oleh orang yang terlibat dalam suatu proses
perkara maupun tidak, di dalam maupun di luar pengadilan, dilakukan
perbuatan secara aktif ataupun pasif berupa tidak berbuat yang bermaksud
mencampuri atau mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan peradilan
yang seharusnya (the due administration of justice), merendahkan
kewibawaan dan martabat pengadilan atau menghalangi pejabat pengadilan di dalam menjalankan peradilan. Indonesia,
sebagai sebuah negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) diartikan
dalam penyelenggaraan kekuasaan negara harus diatur, sesuai dan
dijalankan berdasarkan atas hukum. Dalam konteks ini, selain kekuasaan
eksekutif dan legislatif, terdapat kekuasaan yudikatif dalam manifestasi
berbentuk kekuasaan kehakiman. Pada kekuasaan kehakiman terdapat asas
fundamental berupa independence of judiciary. Asas tersebut mengandung
makna bahwa jalannya proses peradilan harus dijamin sedemikian rupa agar
terhindar dari segala bentuk penggaruh, tekanan, ancaman yang datang
dari pihak manapun juga yang berpotensi dapat mereduksi keluhuran asas
tersebut. Asas independence of judiciary merupakan asas bersifat
universal dan diberlakukan di pelbagai negara. Dari
konteks asas tersebut di atas, proses peradilan harus dijalankan secara
terbuka, objektif, imparsial sesuai dengan ketentuan hukum dan rasa
keadilan. Sedemikian pentingnya kedudukan dan fungsi asas tersebut
sehingga mendapatkan pengaturan secara khusus dalam UUD 1945
serta kernudian dijabarkan ke dalam pelbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Siapa pun
juga, tanpa terkecuali, berkewajiban untuk menghormati martabat,
keluhuran dan wibawa lembaga pengadilan maupun segenap aparatumya.
Namun
demikian, dalam dinamika perkembangan akhir-akhir ini terdapat fenomena
menarik yang dapat mereduksi martabat, keluhuran dan wibawa lembaga
peradilan beserta aparatumya. Terutama harkat dan wibawa hakim. Sikap
dan tindakan yang ditampilkan oleh pencari keadilan, praktisi hukum,
kalangan pers, organisasi sosial politik, lembaga swadaya masyarakat,
akademisi, komisi yudisial, serta berbagai pihak lainnya yang sedemikian
rupa dapat dikategorisasikan mencederai martabat, keluhuran dan wibawa
peradilan, baik sikap dan tindakan yang ditujukan terhadap proses
peradilan, pejabat peradilan, maupun putusan pengadilan.
Selain
itu, pada pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam praktik ketatanegaraan
relatif rentan dapat diintervensi, baik melalui kebijakan hukum pembuat
undang-undang, lembaga harizontal, kekuatan di dalam masyarakat
(organisasi massa, media massa, partai politik) melalui pembentukan
pendapat umum (public opinion) pada saat peradilan sedang berlangsung.
Pengaruh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik kekuasaan atau
kekerasan atau pengerahan massa yang bersifat anarkis, mewarnai proses
peradilan sehingga mengganggu penyelenggaraan proses peradilan.
Misalnya, pembunuhan Hakim Ahmad Taufiks, pembunuhan Hakim Agung
Syaifuddin Kartasasmita, gedung Pengadilan Negeri Larantuka dibakar
massa”, Pengadilan Negeri Temanggung dirusak massa“, Pengadilan Negeri
Pasuruan dilempar dengan bom molotov, advokat Adnan Buyung Nasution berteriak
di ruang persidangan", Terdakwa Abubakar Ba'asyir dan pengacaranya,
serta hakim ad hoc tipikor walk out dari ruang persidangan", Pangacara
terdakwa walk out, Putusan Mahkamah Agung tidak dipatuhi Institut
Penanian Bogor (IPB)“, Pengacara ngamuk", Pengadilan Negeri Gorontalo
ditembaki orang“, PN Depok diintimidasi", dan lain sebagainya.
Pada
hakikatnya, urgensi dan latar belakang tentang undang-undang contempt
of court penting eksistensinya. Hal ini dapat dilihat dari jalannya
persidangan. Dalam kasus yang menarik perhatian masyarakat, gedung
pengadilan hampir dapat dipastikan penuh pengunjung yang tidak jarang
menimbulkan kegaduhan di ruang sidang dengan bersorak, bertepuk tangan,
yang tentunya akan mengganggu jalannya persidangan. Selain itu, kadang
ada massa berdemonstrasi menuntut dihentikan proses persidangan,
dituntut hukum mati, dibebaskan terdakwa dan lain sebagainya. Kemudian
juga terjadi pengacara meninggalkan persidangan atau menginterupsi
dengan keras putusan hakim, terdakwa menyerang hakim akibat tidak puas
dengan putusan hakim.
Di luar persidangan, pemberitaan
besar-besaran terhadap suatu kasus atau kritikan yang disampaikan secara
terbuka melalui media massa (trial by the press) sering kali terjadi
dan tidak jarang pula bahwa pers mengeluarkan pemberitaaan atau
pernyataan yang menimbulkan situasi atau kondisi yang berpengaruh
terhadap putusan yang akan dijatuhkan. Dampak dari pemberitaan
tersebut adanya kesan bahwa seseorang yang diajukan ke depan pengadilan
seolah-olah bersalah walaupun proses persidangan itu belum selesai. [3]
Dari
dimensi lain, sebenamya eksistensi contempt of court ibarat “pedang
bermata dua”. Di satu sisi, upaya menegakkan kewibawaan lembaga
peradilan, dan di sisi Iainnya akan menjadi boomerang bagi masyarakat.
Aspek ini lebih jauh disebutkan Wahyu Wagiman sebagai berikut:[4]
’'Adanya
ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana terhadap
proses peradilan (contempt of court) di satu sisi merupakan upaya yang
baik untuk menegakkan kewibawaan lembaga peradilan yang saat ini
dinilai tidak Iagi terhormat di mata masyarakat. Namun, di sisi Iain
ketentuan ini akan menjadi boomerang bagi masyarakat, apabila adanya
ketentuan mengenai tindak pidana contempt of court ini semata-mata untuk
memperkuat posisi hakim atau pejabat peradilan Iainnya, yang notabene
sudah memilki kedudukan yang kuat dalam proses peradilan.
Catatan Kaki
1 Nico Keyzer, Contempt of Court, Bahan Ceramah di Badan Pembinaan Hukum Nasional, 17 Agustus 1987, hlm. 2.
2 Henry Black Campbell, Black‘s Law Dictionary, St. Paul. MINN West Publishing Co" Fifth Edition, 1979, hlm. 390.
3 Wahyu Wagiman, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 2 Contempt of Court dalam Rancangan KUHP 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), September, 2005, hlm. 4
4 Ibid
0 komentar:
Post a Comment