Tuesday, March 5, 2019

HAK-HAK TERDAKWA DAN TERPIDANA


Oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH., MCL. dalam Varia Peradilan No. 325 Desember 2012, hlm. 6-10.
Baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional (termasuk kebiasaan-kebiasaan internasional) didapati banyak ketentuan mengenai hak-hak (perlindungan terhadap) terdakwa dan hak terpidana (narapidana).
Di Indonesia, tempat utama menemukan ketentuan-ketentuan (hukum) mengenai hak-hak terdakwa diatur dalam KUHPidana dan Hukum Acara Pidana. Selain itu, hak-hak terdakwa juga diatur dalam berbagai undang-undang untuk bidang-bidang tertentu, seperti Undang-Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang Peradilan Umum, Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan.
Dalam KUHPidana, hak-hak terdakwa terutama didapati dalam Buku Kesatu (Pasal 1-103), seperti hak tidak dituntut atas peraturan yang berlaku surut, hak atas pidana yang lebih ringan karena ada perubahan peraturan, pidana sementara (termasuk pidana gabungan) maksimum 20 tahun, hak-hak atas kebebasan menjalankan ibadah dan hak-hak ketatanegaraan (misalnya hak memilih), hak untuk menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan (di luar kewajiban sebagai narapidana), dan lain-lain.
Dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP), hak-hak terdakwa (dan terpidana) telah ada sejak penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, dan persidangan, seperti syarat-syarat penahanan dan lama penahanan, hak untuk segera diperiksa dan diadili, hak untuk diadili secara terbuka, oleh pengadilan yang tidak berpihak (impartial) dan jujur (fair), hak-hak menghadapi penggeledahan, hak mengajukan pembelaan, hak berhubungan dengan keluarga, hak tidak dipidana berlebih-lebihan, hak atas upaya hukum, hak atas pengurangan pidana (remisi), hak tidak diperlakukan dengan kekerasan (cruelty), hak untuk tidak menjawab pertanyaan (hak untuk diam) atas pertanyaan-pertanyaan yang akan memberatkan dirinya, dan Iain-lain. Keseluruhan hak-hak terdakwa dan terpidana dapat dibedakan antara hak yang bersifat asasi atau hak-hak fundamental (human rights, fundamental rights) dan hak-hak biasa. Tulisan ini hanya akan menguraikan hak-hak asasi. Itu pun tidak semua.
Namun, sebelum memasuki rubrik utama, lebih dahulu akan dicatat pernyataan (kebijakan) Kementerian Hukum dan HAM (melalui Wamen Indrayana) mengenai remisi untuk para koruptor dan pernyataan (kebijakan KPK melalui Wakil Ketua, Bambang Widjojanto) mengenai memelaratkan terdakwa korupsi beserta keluarga (anak keturunan). Catatan-catatan di bawah ini hanya akan menunjuk berbagai ketentuan nasional dan internasional yang tidak boleh dilanggar (sebagai negara beradab). Sikap yang sangat patriotik dari dua pejabat tinggi itu untuk memberantas korupsi dan membangun pemerintahan yang bersih patut dihargai. Di tengah-tengah kegalauan bahkan memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara (dan pemerintahan), ternyata masih didapati para patriot dan puritanis-puritanis. Karena itu tidak selayaknya kita putus harapan atau pesimis, frustrasi, atau putus asa. Tetapi selain patriotisme atau puritarisme, telah ada kesepakatan umum atau general will (Rousseau), bahwa negara yang berdiri sejak 17 Agustus 1945 -antara lain disusun sebagai negara hukum dan demokrasi. Dua landasan ini menolak secara total sikap, tingkah laku atau tindakan menghalalkan segala cara (justifies the means). Selain itu, negara hukum dan demokrasi tidak dapat dipisahkan dari kewajiban menghormati dan menjunjung hak-hak asasi manusia. Dua tokoh yang saya sebutkan di atas, banyak diketahui sangat concern terhadap penghormatan atas hak asasi. Betapapun penting suatu manfaat (doelmatigheid) tidak pemah membolehkan mengabaikan rechtmatigheid. Betapapun luas dan bebas bertindak atas dasar beleid (beleidsvrijheid), tetapi hanya dapat dilakukan menurut aturan hukum yang telah ada yaitu ada wewenang (legal authority), dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan hukum (legal mechanism) dan dengan tujuan yang dibenarkan (legal purposeful). Asepek-aspek inilah yang disebut asas legalitas (legality principle, legaliteitsbeginsel). Kalau tidak, betapapun besar iktikad baik (goodfaith, ter goede trouw), apabila tidak mengindahkan syarat-syarat di atas, tindakan itu adalah sewenang-wenang (arbitrary, willekeur), atau penyalahgunaan wewenang (misuse of power, misbruik van bevoeg-dheid) atau sekurang-kurangnya melampaui wewenang (deternement de pouvoir).
Remisi diberikan bukan atas pertimbangan kebajikan penguasa atau lazim digolongkan sebagai hak prerogatif penguasa. Remisi adalah hak terpidana. Karena itu hanya diberikan setelah terpidana memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Remisi tidak memerlukan permohonan, melainkan sebagai kewajiban (kebalikan dari kebajiban) yang wajib diberikan apabila terpidana telah memenuhi semua syarat. Tidak memberikan remisi sekaligus merupakan pelanggaran terhadap peraturan dan hak asasi terpidana (hak untuk bebas atau segera bebas). Dapat pula ditambahkan, remisi adalah salah satu asas pemidanaan modern untuk memulihkan harkat martabat seseorang yang terbukti telah melakukan perbuatan melanggar hukum (dapat dipidana), bukan suatu bentuk pembalasan (taliansis) yang sudah lama ditinggalkan. Bagaimana dengan terpidana korupsi. Mungkinkah hak mereka atas remisi dibedakan dari terpidana lain. Untuk hal ini, perlu sekali memerhatikan hal-hal berikut:
Pertama; asas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan asas persamaan memperoleh perlindungan hukum (equal protection of law). Mungkinkah asas-asas ini disimpangi. Mungkin, tetapi harus dapat menunjukkan beberapa hal.
  1. Ada satu ancaman yang sangat nyata (bukan sekadar asumsi) terhadap negara dan masyarakat kalau remisi diberikan (clear and present danger). 
  2. Merupakan suatu keterpaksaan yang tidak dapat dihindari untuk mencapai suatu tujuan atau kepentingan yang lebih besar (compelling to achieve the government interest). 
  3. Harus diatur menurut hukum. Sekali-sekali tidak boleh didasarkan kepada beleid, mengingat hak atas remisi merupakan hak terpidana (asas legaliteit, legality). Selain karena mengenai hak terpidana, segala bentuk beleid mencabut hak-hak orang lain merupakan perbuatan sewenang-wenang (arbitrary, willekeur). 
  4. Tidak melanggar asas legitimate expectation sebagai suatu wujud asas natural justice dan/atau procedural fairness, tidak bertentangan dengan universal principles of justice. 
  5. Tidak boleh melanggar larangan Ex post facto law (larangan berlaku surut). Adalah pelanggaran yang sangat asasi, membatalkan atau apa pun sebutannya, para terpidana yang telah menerima keputusan remisi. Menerapkan hukum secara berlaku surut, selain sewenang-wenang juga melanggar asas kepastian hukum dan keadilan.
Kedua; remisi diberikan sesuai dengan prestasi pekerjaan, kepatuhan atau kebaikan yang dilakukan atau diberikan terpidana selama menjalankan hukuman. Dengan perkataan lain, remisi merupakan imbalan prestasi (tegen prestatie) atas pekerjaan atau jasa terpidana. Meniadakan remisi, menimbulkan implikasi-implikasi-antara lain:
  1. Dengan keputusan mendadak (bertentangan dengan kewajiban administrasi untuk senantiasa berpegang pada asas kehati-hatian atau zorgvuldigheid), berarti terpidana yang telah memberikan prestasi telah dirugikan oleh beleid yang sewenang-wenang. 
  2. Meniadakan dorongan bagi terpidana melakukan aktivitas yang bermanfaat dan sekaligus pendidikan untuk kembali menjadi manusia sosial yang untuh dan bertanggung jawab.
Ketiga; meniadakan atau mengurangi hak asasi terpidana korupsi merupakan tindakan diskriminasi yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan.
Bagaimana dengan keinginan Bapak Wakil Ketua KPK, yang hendak memiskinkan atau membuat sengsara koruptor dan keluarganya (anak keturunannya). Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan asas-asas umum pemidanaan. Pertama; asas larangan pemidanaan secara berlebihan (excessive). Kehendak untuk memiskinkan terpidana dengan merampas segala kekayaannya, bertentangan dengan asas penyitaan dan Perampasan hanya dapat dilakukan terhadap barang-barang yang dipergunakan melakukan dan/atau hasil kejahatan. Merampas atau menyita untuk memiskinkan keluarga merupakan bagian dari kematian perdata yang dilarang oleh hukum. Sekadar ilustrasi, Amendemen VIII UUD Amerika Serikat (sebagai bagian dari Bill of Rights) menentukan: “Excessive bail shall not be required, nor excessive fines imposed, nor cruel and unusual punishment” (Dilarang mengenakan uang jaminan yang berlebihan, denda yang berlebihan. juga pemidanaan yang keji dan tidak lazim). Sangat arif fatwa MUI yang mengatakan yang disita atau dirampas adalah semua barang yang diperoleh dari basil kejahatan. Pemidanaan tidak membenarkan menyita atau merampas barang-barang yang tidak terkait dengan kejahatan. Adalah kewajiban penuntut untuk membuktikan (bukan sekadar menduga atau asumsi) barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau hasil kejahatan. Bagaimana dengan uang pengganti. Uang pengganti tidak boleh melebihi kerugian negara. Lagi-lagi hal ini harus dibuktikan dengan bukti-bukti faktual bukan sekadar konstruksi. Mahkamah Agung pernah menolak tuntutan uang pengganti, karena penuntut umum hanya membuat perkiraan-perkiraan bukan fakta. Memang tidak mudah. Perlu diingat seorang terdakwa korupsi tetap berhak atas keadilan betapapun besar kesalahannya. Jangan sampai tuntutan pemidanaan atau pemidanaan semata-mata atas rasa kebencian dan mengesampingkan keadilan.
Bagaimana keinginan untuk memiskinkan, memelaratkan, atau membuat sengsara keluarga atau anak keturunan terpidana korupsi? Ada dua asas yang harus senantiasa ditegakkan, kalau tidak, pemidanaan akan sewenang-wenang. Pertama; asas pertanggungjawaban pidana hanya pada pelaku dan/atau orang lain yang turut melakukan, membantu melakukan atau menganjurkan melakukan. Sanak famili -betapapun besar mereka memperoleh manfaat dari suatu kejahatan apabila tidak terbukti turut serta melakukan, membantu melakukan atau menganjurkan melakukan, sekali-sekali tidak boleh menjadi salah satu objek atau sasaran pemidanaan. Tanpa dimelaratkan atau disengsarakan, sanak keluarga telah menjadi terhukum oleh pendapat umum seperti trial by the press. Kedua; asas pidana atas dasar kesalahan. Tidak ada pidana tanpa kesalahan (geen strafzonder schuld). Itu pun masih harus dibuktikan pertanggungjawabannya. Apakah pelaku memenuhi syarat bertanggung jawab menurut hukum pidana. Menekankan penanggungjawaban menurut hukum pidana (wederrechtelijk) sangat penting. Kita mendengar sejumlah keluhan kriminalisasi beleid (diskresi) yang semestinya berada dalam lingkungan hukum administrasi negara. Namun perlu diingatkan, dalam hukum administrasi sangat biasa disertai ancaman pidana seperti Peraturan Daerah. Dahulu dimungkinkan Peraturan Pemerintah disertai ancaman pidana. Tetapi pada dasarnya, hukum administrasi memiliki cara-cara penguatan sendiri, seperti bestuursdwang, dwangsom, administratiefboete, atau mengembalikan pada keadaan semula. Bagi pejabat administrasi negara yang melakukan kesalahan didapati berbagai bentuk sanksi pertanggungjawaban administrasi sebelum sampai pada pertanggungjawaban pidana. Mencampuradukkan pertanggungjawaban administrasi dengan penanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk kekacauan hukum (legal disorder). Walaupun demikian, harus diakui, ada kemungkinan penyalahgunaan tata kerja administrasi negara. Secara formal tampak sebagai perbuatan administrasi negara (dalam lingkungan hukum administrasi negara), secara material ada maksud melakukan perbuatan pidana. Di sinilah letak kompleksitas perkara korupsi yang dapat jalin menjalin dengan hukum administrasi, bahkan dengan hukum perdata. Mahkamah Agung pernah membebaskan dakwaan korupsi, meskipun sangat nyata ada kerugian negara karena pejabat yang bersangkutan ditipu orang lain, tetapi kepada pejabat yang bersangkutan dihukum mengembalikan kerugian negara atas dasar pelanggaran asas kehati-hatian (zorgvuldigheid, carefulness) sebagai salah satu asas utama dari algemene beginselen van behoorlijk bestuur (general principles of good administration). Memang pekerjaan semacam ini tidak mudah, membutuhkan pengetahuan yang dalam, antara lain hubungan kerugian negara dengan tindak pidana korupsi dan tindakan administrasi negara, serta rasa keadilan dan kearifan penegak hukum. Persoalannya, tekanan publik atau pabrikasi pendapat umum. Di sinilah ujian bagi penegak hukum yaitu keberanian atas dasar keyakinan dan kebenaran dan dipenuhi semua syarat-syarat pemeriksaan dan putusan yang baik sebagai cara mewujudkan the principle and interest of justice.

0 komentar:

Post a Comment