Monday, July 15, 2019

HUKUM PUBLIK DAN HUKUM KEPERDATAAN


Hukum Publik dan Hukum Keperdataan (Publiekrecht en Privaatrecht). Pembagian antara hukum publik dan hukum keperdataan (hukum privat), pertama kali diutarakan oleh Ulpianus (seorang ahli hukum pada masa Romawi).  
Menurut Ulpianus, hukum publik adalah hukum yang mengatur mengenai negara Romawi. Hukum keperdataan adalah hukum yang mengatur (melayani) individu.  
Cliteur-Ellian mengutarakan tiga ciri yang mebedakan antara hukum publik dan hukum keperdataan.  
Pertama; hukum publik adalah hukum yang bertalian dengan kepentingan umum (algemeen belang) yang berpusat pada negara. Hukum keperdataan adalah hukum yang mengatur kepentingan perorangan (partikuliere belangen).  
Kedua; dalam hukum publik, penyelenggara negara dan warga, tidak dalam kedudukan sederajat satu sama lain. Sementara dalam hukum keperdataan, pihak-pihak (antar warga atau antar warga dan negara) sederajat satu sama lain.  
Ketiga; inisiatif penegakan hukum publik dilakukan (berada di tangan) penyelenggara negara (overheid), sedangkan inisiatif penegakan hukum keperdataan ada pada warga (hlm. 8).  
Namun, Cliteur-Ellian lebih lanjut menyatakan, dalam kenyataan; ada bentuk-bentuk campuran (sekaligus memuat hukum publik dan hukum keperdataan), misalnya hukum keluarga atau familierecht (tentang kelahiran anak, perkawinan), hukum acara perdata dan hukum Perburuhan. Aspek publik kelahiran anak-antara lain-keharusan ada akta kelahiran yang dikeluarkan badan atau pejabat administrasi negara. 
Aspek publik dalam perkawinan-antara lain-perkawinan harus dilakukan di hadapan pejabat administrasi negara (catatan sipil atau pejabat dari kantor agama). Hukum acara perdata sebagai hukum acara adalah hukum publik. Aspek publik hukum perburuhan misalnya ketentuan-ketentuan tentang jam kerja, hak cuti, dll. Dapat ditambahkan, hukum campuran itu diketemukan juga dalam hukum lingkungan, hukum ekonomi, hukum-hukum mengenai badan usaha, hukum penanaman modal. Bahkan dalam perkembangan, hukum-hukum yang disebutkan di atas, makin menampakkan segi-segi hukum publik. Mengapa?  
Hal ini berjalan seiring dengan konsep keikutsertaan negara dalam pergaulan (mencampuri peri kehidupan) masyarakat. Semula, keikutsertaan negara dalam urusan individu (keperdataan) dilakukan demi ketertiban umum (bublic order) atau ketertiban hukum (legal order). Pencatatan kelahiran, perkawinan adalah demi ketertiban hukum untuk menjamin ketertiban umum. Dalam perkembangan keikutsertaan negara dalam pergaulan masyarakat tidak sekadar sebagai penjaga ketertiban umum dan keamanan (lazim disebut sebagai penjaga malam atau nachtwakersstaat), tetapi negara berkewajiban (memikul tanggung jawab) mewujudkan dan menjamin keadilan sosial, kesejahteraan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak.  
Keikutsertaan dan campur tangan negara mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran merupakan realisasi paham demokrasi sosial atau demokrasi dalam arti materiil, paham negara (hukum) kesejahteraan, dan paham hak asasi sosial. Selain pahampaham tersebut, keikutsertaan negara dalam pergaulan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ideologi tertentu c.q. Marxisme-Leninisme (Komunisme). Pada negara-negara yang pernah menjalankan ideologi tersebut, bahkan berlaku prinsip etatisme, serba negara. Segala sesuatu dikuasai oleh negara.  
Namun, sejak awal tahun 90-an, konsep etatisme tidak lagi dilaksanakan, seiring dengan robohnya negara dan sistem komunisme yang dimulai dengan bubarnya negara Uni Soviet (1991).  
Bagaimana dengan negara-negara demokrasi?  
Pada akhir tahun 2000-an, negara-negara demokrasi (seperti negara-negara Eropa Barat) sangat diberati oleh kewajiban dan tanggung jawab mewujudkan dan menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sudah semestinya masyarakat seperti badan-badan usaha swasta (private corporations) turut serta memikul tanggung jawab dan kewajiban menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Akibat lain adalah “membesarnya birokrasi". Bukan saja berakibat membesarnya “belanja pegawai”, tetapi menimbulkan berbagai “birokratisasi” yang sangat berpengaruh pada efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Bagi yang menempatkan birokrasi sebagai “the fourth estate”, birokrasi yang besar (dan makin berkuasa) berpengaruh pula pada “political sphere". Hal-hal ini akan berpengaruh pada kebijakan politik penyelenggaraan negara.
Terlepas dari persoalan di atas, ada catatan “simpangan” dari pokok bahasan ini, yaitu keadaan Prancis antara 1946-1958 (Republik Keempat). Sepanjang kurun waktu tersebut, dikenal sebagai pemerintahan yang tidak stabil. Ada 21 kabinet dengan rata-rata berusia enam bulan. Tetapi dalam masa pemerintahan yang tidak stabil tersebut, perekonomian Prancis tumbuh dengan baik. Bahkan ada yang menggambarkan, pada tahun 50-an, perekonomian Prancis tumbuh lebih baik daripada sebelum perang. Begitu pula peri kehidupan sosial. Hal ini terjadi karena ditopang oleh tatanan birokrasi yang baik (efisien, efektif) terlepas dari suasana politik yang gonjang-ganjing (Catherine Elliott, et al, French Legal System, hlm. 15 dst.). Pengalaman Republik Keempat Prancis, menunjukan beberapa hal. Pertama; ada manfaat keterpisahan antara birokrasi dan politik. Kedua; birokrasi yang sehat atau sebaliknya, sangat berpengaruh pada misalnya “korupsi”. Dalam berbagai catatan lain, berkali-kali saya menegaskan, korupsi yang merajalela di Indonesia terutama disebabkan “politik yang tidak sehat dan birokrasi yang juga tidak sehat”.  
Tanpa kembali kepada paham kapitalisme klasik (Adam Smith), terjadilah gelombang privatisasi dan deregulasi. Hal ini merupakan suatu arus balik dari kecenderungan publiekrechtelijk ke privaatrectelijk.  
Indonesia pun sejak pada masa-masa ujung Orde Baru, lebih-lebih karena dipicu krisis moneter yang kemudian menjadi krisis ekonomi 1998, melakukan berbagai upaya privatisasi dan deregulasi. Krisis ini, berujung menjadi krisis politik yang mengakhiri Orde Baru dan melahirkan masa Reformasi.
Sejak Reformasi, semangat privatisasi makin menggelora. Sampai-sampai infrastruktur yang sudah selesai dibangun BUMN diperintahkan dijual kepada swasta. Sayangnya, privatisasi tersebut tidak diikuti deregulasi yang memadai untuk menjamin perwujudan keadilan sosial, kesejahteraan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak. Di satu pihak regulasi yang ada yang mengatur keturutsertaan negara dianggap telah ketinggalan, di pihak lain sangat kurangnya pengaturan baru. Akibatnya, berbagai proses privatisasi lebih bertumpu pada kebijakan (beleid) dan pada tatanan hukum yang tidak ajek. Kalaupun bertumpu pada tatanan hukum, adalah hukum-hukum yang sudah usang termasuk hukum warisan kolonial. Agar privatisasi tidak sekadar mengurangi keikutsertaan negara dalam pergaulan masyarakat, privatisasi harus termasuk juga tanggung jawab ikut serta mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Mengatur dengan baik tanggung jawab sosial dalam privatisasi akan menghindari “tudingan” bahwa, Indonesia berada dalam pelukan liberalisme ekonomi.  
Mengapa hal semacam itu terjadi?  
Pertama; pembentuk undang-undang lebih tertarik pada ritual mengotak-atik hukum di bidang politik dan pemerintahan, daripada hukum di bidang sosial dan ekonomi.  
Kedua; terkesan, penyelenggara negara sangat percaya pada “mekanisme pasar” dan “persaingan bebas” sebagai alat mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran daripada melalui sistem regulasi yang menjamin keterarahan privatisasi yang berimbang antara kepentingan swasta dan mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak. Memang telah ada undang-undang yang membatasi “serba pasar” dan “persaingan bebas” seperti UU Anti Monopoli, tetapi terkesan tidak efektif.  
Walaupun demikian, tidak pula dapat dikatakan, negara sama sekali lalai terhadap soal keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat. Kita mengenal, misalnya program BPJS, Kartu Sehat, dana desa, harga sama di seluruh tanah air, sertifikat tanah cuma-cuma termasuk impian gagasan membangun rumah tanpa DP. Tidak pula kurang penting pembangunan infrastruktur yang dipandang menjadi sarana mewujudkan kemakmuran. Tetapi apabila kemampuan ekonomi rakyat tidak dibangun, berbagai infrastruktur itu hanya menjadi peluang para pemilik modal (orang kaya).  
Sebelum mengakhiri rubrik ini, sekadar untuk mengenang, akan dicatat “penamaan” istilah “perdata” atau “keperdataan”, “pidana”. Istilah-istilah ini pertama kali dipergunakan Prof. M.M. Djojodigoeno (Guru Besar FH. UGM) yang diambil dari bahasa Sansekerta (Jawa kuno) “pradata”, “pradana”. Dalam bahasa Belanda, ada tiga istilah yang menunjuk hukum keperdataan: “burgerlijkrecht, privaatrecht, civielrecht”. Dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah “civil law, private law”. Istilah “civiel recht, civil law” berasal dari Prancis “Code Sivil” (KUHPerdata). Perlu kehati-hatian menggunakan istilah “civil law”, karena mengandung arti ganda. Pertama; “sivil law” dalam makna “private law”. Kedua; civil law (lazim ditulis dengan hurup besar: “Civil Law", yang menunjuk pada “tradisi hukum” atau “sistem hukum” yaitu “tradisi atau sistem hukum kontinental (The Civil Law System, Codified Legal System)”.

0 komentar:

Post a Comment