HUKUM PUBLIK DAN HUKUM KEPERDATAAN
Hukum Publik dan Hukum Keperdataan (Publiekrecht en Privaatrecht). Pembagian
antara hukum publik dan hukum keperdataan (hukum privat), pertama kali
diutarakan oleh Ulpianus (seorang ahli hukum pada masa Romawi).
Menurut
Ulpianus, hukum publik adalah hukum yang mengatur mengenai negara
Romawi. Hukum keperdataan adalah hukum yang mengatur (melayani)
individu.
Cliteur-Ellian mengutarakan tiga ciri yang mebedakan antara hukum publik dan hukum keperdataan.
Pertama;
hukum publik adalah hukum yang bertalian dengan kepentingan umum
(algemeen belang) yang berpusat pada negara. Hukum keperdataan adalah
hukum yang mengatur kepentingan perorangan (partikuliere belangen).
Kedua;
dalam hukum publik, penyelenggara negara dan warga, tidak dalam
kedudukan sederajat satu sama lain. Sementara dalam hukum keperdataan,
pihak-pihak (antar warga atau antar warga dan negara) sederajat satu
sama lain.
Ketiga; inisiatif penegakan hukum publik dilakukan
(berada di tangan) penyelenggara negara (overheid), sedangkan inisiatif
penegakan hukum keperdataan ada pada warga (hlm. 8).
Namun,
Cliteur-Ellian lebih lanjut menyatakan, dalam kenyataan; ada
bentuk-bentuk campuran (sekaligus memuat hukum publik dan hukum
keperdataan), misalnya hukum keluarga atau familierecht (tentang
kelahiran anak, perkawinan), hukum acara perdata dan hukum Perburuhan.
Aspek publik kelahiran anak-antara lain-keharusan ada akta kelahiran
yang dikeluarkan badan atau pejabat administrasi negara.
Aspek
publik dalam perkawinan-antara lain-perkawinan harus dilakukan di
hadapan pejabat administrasi negara (catatan sipil atau pejabat dari
kantor agama). Hukum acara perdata sebagai hukum acara adalah hukum
publik. Aspek publik hukum perburuhan misalnya ketentuan-ketentuan
tentang jam kerja, hak cuti, dll. Dapat ditambahkan, hukum campuran itu
diketemukan juga dalam hukum lingkungan, hukum ekonomi, hukum-hukum
mengenai badan usaha, hukum penanaman modal. Bahkan dalam perkembangan,
hukum-hukum yang disebutkan di atas, makin menampakkan segi-segi hukum
publik. Mengapa?
Hal ini berjalan seiring dengan konsep
keikutsertaan negara dalam pergaulan (mencampuri peri kehidupan)
masyarakat. Semula, keikutsertaan negara dalam urusan individu
(keperdataan) dilakukan demi ketertiban umum (bublic order) atau
ketertiban hukum (legal order). Pencatatan kelahiran, perkawinan adalah
demi ketertiban hukum untuk menjamin ketertiban umum. Dalam perkembangan
keikutsertaan negara dalam pergaulan masyarakat tidak sekadar sebagai
penjaga ketertiban umum dan keamanan (lazim disebut sebagai penjaga
malam atau nachtwakersstaat), tetapi negara berkewajiban (memikul
tanggung jawab) mewujudkan dan menjamin keadilan sosial, kesejahteraan
dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak.
Keikutsertaan dan
campur tangan negara mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan dan
kemakmuran merupakan realisasi paham demokrasi sosial atau demokrasi
dalam arti materiil, paham negara (hukum) kesejahteraan, dan paham hak
asasi sosial. Selain pahampaham tersebut, keikutsertaan negara dalam
pergaulan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ideologi
tertentu c.q. Marxisme-Leninisme (Komunisme). Pada negara-negara yang
pernah menjalankan ideologi tersebut, bahkan berlaku prinsip etatisme,
serba negara. Segala sesuatu dikuasai oleh negara.
Namun, sejak
awal tahun 90-an, konsep etatisme tidak lagi dilaksanakan, seiring
dengan robohnya negara dan sistem komunisme yang dimulai dengan bubarnya
negara Uni Soviet (1991).
Bagaimana dengan negara-negara demokrasi?
Pada akhir tahun 2000-an,
negara-negara demokrasi (seperti negara-negara Eropa Barat) sangat
diberati oleh kewajiban dan tanggung jawab mewujudkan dan menjamin
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sudah semestinya masyarakat seperti
badan-badan usaha swasta (private corporations) turut serta memikul
tanggung jawab dan kewajiban menjamin kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Akibat lain adalah “membesarnya birokrasi". Bukan saja berakibat
membesarnya “belanja pegawai”, tetapi menimbulkan berbagai
“birokratisasi” yang sangat berpengaruh pada efisiensi dan efektivitas
pemerintahan. Bagi yang menempatkan birokrasi sebagai “the fourth
estate”, birokrasi yang besar (dan makin berkuasa) berpengaruh pula pada
“political sphere". Hal-hal ini akan berpengaruh pada kebijakan politik
penyelenggaraan negara.
Terlepas dari persoalan di atas, ada catatan “simpangan” dari pokok bahasan ini, yaitu keadaan Prancis antara 1946-1958
(Republik Keempat). Sepanjang kurun waktu tersebut, dikenal sebagai
pemerintahan yang tidak stabil. Ada 21 kabinet dengan rata-rata berusia
enam bulan. Tetapi dalam masa pemerintahan yang tidak stabil tersebut,
perekonomian Prancis tumbuh dengan baik. Bahkan ada yang menggambarkan,
pada tahun 50-an, perekonomian Prancis tumbuh lebih baik daripada
sebelum perang. Begitu pula peri kehidupan sosial. Hal ini terjadi
karena ditopang oleh tatanan birokrasi yang baik (efisien, efektif)
terlepas dari suasana politik yang gonjang-ganjing (Catherine Elliott,
et al, French Legal System, hlm. 15 dst.). Pengalaman Republik Keempat
Prancis, menunjukan beberapa hal. Pertama; ada manfaat keterpisahan
antara birokrasi dan politik. Kedua; birokrasi yang sehat atau
sebaliknya, sangat berpengaruh pada misalnya “korupsi”. Dalam berbagai
catatan lain, berkali-kali saya menegaskan, korupsi yang merajalela di
Indonesia terutama disebabkan “politik yang tidak sehat dan birokrasi
yang juga tidak sehat”.
Tanpa kembali kepada paham kapitalisme
klasik (Adam Smith), terjadilah gelombang privatisasi dan deregulasi.
Hal ini merupakan suatu arus balik dari kecenderungan publiekrechtelijk
ke privaatrectelijk.
Indonesia pun sejak pada masa-masa ujung
Orde Baru, lebih-lebih karena dipicu krisis moneter yang kemudian
menjadi krisis ekonomi 1998, melakukan berbagai upaya privatisasi dan deregulasi. Krisis ini, berujung menjadi krisis politik yang mengakhiri Orde Baru dan melahirkan masa Reformasi.
Sejak
Reformasi, semangat privatisasi makin menggelora. Sampai-sampai
infrastruktur yang sudah selesai dibangun BUMN diperintahkan dijual
kepada swasta. Sayangnya, privatisasi tersebut tidak diikuti deregulasi
yang memadai untuk menjamin perwujudan keadilan sosial, kesejahteraan
dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak. Di satu pihak regulasi
yang ada yang mengatur keturutsertaan negara dianggap telah ketinggalan,
di pihak lain sangat kurangnya pengaturan baru. Akibatnya, berbagai
proses privatisasi lebih bertumpu pada kebijakan (beleid) dan pada
tatanan hukum yang tidak ajek. Kalaupun bertumpu pada tatanan hukum,
adalah hukum-hukum yang sudah usang termasuk hukum warisan kolonial.
Agar privatisasi tidak sekadar mengurangi keikutsertaan negara dalam
pergaulan masyarakat, privatisasi harus termasuk juga tanggung jawab
ikut serta mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat. Mengatur dengan baik tanggung jawab sosial
dalam privatisasi akan menghindari “tudingan” bahwa, Indonesia berada
dalam pelukan liberalisme ekonomi.
Mengapa hal semacam itu terjadi?
Pertama;
pembentuk undang-undang lebih tertarik pada ritual mengotak-atik hukum
di bidang politik dan pemerintahan, daripada hukum di bidang sosial dan
ekonomi.
Kedua; terkesan, penyelenggara negara sangat percaya
pada “mekanisme pasar” dan “persaingan bebas” sebagai alat mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran daripada melalui sistem regulasi yang
menjamin keterarahan privatisasi yang berimbang antara kepentingan
swasta dan mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat banyak. Memang telah ada undang-undang yang membatasi “serba
pasar” dan “persaingan bebas” seperti UU Anti Monopoli, tetapi terkesan
tidak efektif.
Walaupun demikian, tidak pula dapat dikatakan,
negara sama sekali lalai terhadap soal keadilan sosial, kesejahteraan,
dan kemakmuran rakyat. Kita mengenal, misalnya program BPJS, Kartu
Sehat, dana desa, harga sama di seluruh tanah air, sertifikat
tanah cuma-cuma termasuk impian gagasan membangun rumah tanpa DP. Tidak
pula kurang penting pembangunan infrastruktur yang dipandang menjadi
sarana mewujudkan kemakmuran. Tetapi apabila kemampuan ekonomi rakyat
tidak dibangun, berbagai infrastruktur itu hanya menjadi peluang para
pemilik modal (orang kaya).
Sebelum mengakhiri rubrik ini,
sekadar untuk mengenang, akan dicatat “penamaan” istilah “perdata” atau
“keperdataan”, “pidana”. Istilah-istilah ini pertama kali dipergunakan
Prof. M.M. Djojodigoeno (Guru Besar FH. UGM) yang diambil dari bahasa
Sansekerta (Jawa kuno) “pradata”, “pradana”. Dalam bahasa Belanda, ada
tiga istilah yang menunjuk hukum keperdataan: “burgerlijkrecht,
privaatrecht, civielrecht”. Dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah
“civil law, private law”. Istilah “civiel recht, civil law” berasal dari
Prancis “Code Sivil” (KUHPerdata). Perlu kehati-hatian menggunakan
istilah “civil law”, karena mengandung arti ganda. Pertama; “sivil law”
dalam makna “private law”. Kedua; civil law (lazim ditulis dengan hurup
besar: “Civil Law", yang menunjuk pada “tradisi hukum” atau “sistem
hukum” yaitu “tradisi atau sistem hukum kontinental (The Civil Law
System, Codified Legal System)”.
0 komentar:
Post a Comment