Thursday, September 24, 2020

KEBIASAAN DAN ADAT SEBAGAI SALAH SATU SUMBER HUKUM DI INDONESIA


Bagi bangsa Indonesia antara kebiasaan (gewoonte) dan adat istiadat adalah tidak sama. Tata hukum yang bersumber pada kebiasaan disebut hukum kebiasaan, sedangkan yang bersumber pada adat istiadat disebut hukum adat. Hal ini berdasarkan literatur terdahulu yang menyatakan bahwa orang Indonesia asli tunduk pada adatrecht.[1]

Hukum kebiasaan ialah himpunan kaidah yang sebetulnya tidak dibentuk oleh badan legislatif, namun dalam realita ditaati juga. Hal ini disebabkan orang sanggup menerima kaidah tersebut sebagai hukum dan dipertahankan oleh para penguasa yang bukan badan legislatif.

Menurut para pakar hukum terdahulu agar kebiasaan ditaati dan dapat menjadi hukum kebiasaan, maka harus ada dua unsur yang harus dipenuhi, yaitu pertama bahwa sesuatu perbuatan itu harus tetap dilakukan dan kedua harus ada keyakinan bahwa perbuatan itu harus dilakukan karena telah merupakan suatu kewajiban (opinio necessitatis). Namun, ada juga yang menganggap bahwa kedua unsur di atas masih dirasakan belum cukup, masih ada dua unsur lagi yang harus dipenuhi yaitu pengakuan (erkenning) dan penguatan (bekrachtiging) penguasa lain yang tidak termasuk lingkungan pembuat perundang-undangan.

Menurut macamnya hukum kebiasaan terbagi atas tiga:

(1) Kebiasaan yang menimbulkan hukum;

(2) Kebiasaan yang menyebabkan berubahnya hukum yang sedang berlaku;

(3) Kebiasaan yang menggugurkan hukum yang berlaku.

Di samping hukum kebiasaan dalam pengertian umum, ada juga hukum kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan. Hukum kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan ini disebut konvensi. Konvensi adalah hukum yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan, mendinamisasi kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.[2]

Sekarang marilah kita membahas hukum adat. Hukum adat ialah bagian dari tata hukum Indonesia yang berasal dari adat istiadat. Sedangkan adat istiadat ialah himpunan kaidah sosial yang sejak lama ada dan merupakan tradisi, yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat bumi putera. Dapat dikatakan pula hukum adat adalah adat yang bersanksi. Sanksinya adalah reaksi masyarakat terhadap perbuatan itu. Untuk mengetahui apakah suatu adat itu merupakan hukum adat atau bukan, kita harus mengetahui berbagai keputusan dari yang berkuasa. Apabila yang berkuasa mempertahankan ditaatinya adat yang dimaksud, karena hal itu merupakan peraturan tata tertib masyarakat persekutuan hukum adat yang bersangkutan, maka adat fersebut merupakan hukum adat.

Dalam membahas hukum adat ini kita tidak dapat begitu saja mengaabaikan Teori Keputusan (Beslissingenleer) dari Ter Haar. Menurut ajaran ini maka hukum adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja, adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht) serta pengaruh (invloed) dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.[3]

Apabila kita telusuri, ternyata ada perbedaan asal antara hukum kebiasaan dengan hukum adat:

(1) Hukum kebiasaan sebagian besar berasal dari akulturasi antara kebudayaan Barat dan Timur yang diresepsi sebagai sesuatu yang asli, namun belum menjadi tradisi. Sedangkan hukum adat menurut asal usulnya bersifat agak sakral dan berasal dari nenek moyang, agama, serta tradisi rakyat;

(2) Hukum kebiasaan semuanya tidak tertulis, sedangkan hukum adat sebagian kecil ada yang tertulis (tercatat).[4]

 



[1]Kleintjes. Staatsinstellingen van Nederlandsch Indie, II, 1933, hlm. 235.

[2]Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan untuk Fakultas Pascasarjana, (Bandung: Armico, 1987), hlm. 15.

[3]Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983). hlm. l7.

[4]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 93.


0 komentar:

Post a Comment