MACAM-MACAM PARADIGMA DALAM SOSIOLOGI
Ada lima (5) macam paradigma dengan menggunakan pendekatan sosiologi. Graham. C Kinloch [1] menggambarkannya sebagai berikut.
1. Paradigma Sosiologie
Periode utama sejarah manusia, dapat dipandang sebagai perangkat tertentu dalam sistem kepercayaan, yakni defisi yang jelas tentang kehidupan fisik dan sosial. Dengan demikian, jenis-jenis teori atau penjelasan khusus, mendefinisikan realitas sosial, dalam hal tertentu, pada perkembangan sosial. Variabel tertentu dipandang sebagai sebab dalam menjelaskan pamdigma yang berkisar pada: eksternal, mistik, dan irasional dalam hal yang bersifat agamis, menuju ke arah yang lebih internal (subjek atas kontrol manusia), rasional, dan imiah. Tiap-tiap paradigma menggambarkan pandangan khusus akan realitas, sebagaimana masyarakat bergerak maju dari metafisik, melalui teologis dan filosofis, menuju ke hal yang sifatnya positif dan ilmiah. Dengan demikian, kita akan menguji setiap paradigma tersebut dengan pertimbangan sosiologi.
2. Paradigma Metafisik
Definisi awal dan formal manusia akan realitas, dapat dipandang secara metafisik Hal ini berawal dari perkembangan peradaban Yunani Kuno. Pandangan ini berlawanan dengan atheisme primitif, yang menggambarkan kemunculan diri manusia dari hal-hal yang hemifat mistik dan tidak dikenal. Dewa-Dewi Yunani adalah supranatural, namun mereka juga memiliki kualitas manusia. Alam yang bersifat natural, menjalankan tatanan sosial yang relatif sama, yang memenuhi, atau di bawah pengaruh kodrat dan iradat Tuhan (para Dewa). Paradigma inilah yang berpandangan bahwa alam ada di bawah perintah para dewa yang bersifat supranatural, tetapi yang juga memilki kualitas manusia.
Dalam fase metafisik, yang merupakan suatu bentuk lain dari yang pertama (teologi), akal budi mengandaikan bukan hal supranatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, yaitu hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstrak-abstrak yang dipersonifikasikan) dan yang mampu menghasilkan semua gejala.[2]
Lebih lanjut paradigma ini memerankan beberapa fungsi sebagai berikut.[3]
Lebih lanjut paradigma ini memerankan beberapa fungsi sebagai berikut.[3]
- Paradigma ini menunjuk kepada suatu yang ada (dan sesuatu yang tidak ada), yang menjadi pusat perhatian dari suatu komunitas ilmuwan tertentu.
- Paradigma ini menunjuk kepada pusat komunitas ilmuwan tertentu, yang memusatkan perhatian mereka untuk menemukan sesuatu yang ada, yang menjadi pusat perhatian mereka.
- Paradigma ini menunjuk kepada ilmuwan, yang berharap untuk menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh ada yang menjadi pusat perhatian dari disiplin ilmu mereka.
Dengan demikian, menurut George Ritzer,[4] paradigma metafisik ini merupakan suatu konsensus atau kesepakatan terluas dari disiplin ilmu, yang membantu membatasi bidang (scope) suatu ilmu, sehingga dapat membantu mengarahkan komunitas ilmuwan dalam melakukan penyelidikannya.
3. Paradigma Teologi
Dalam fase teologi ini, akal budi manusia mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab terakhir (asal dan tujuan) dari segala sebab-akibat.[5] Singkatnya, pengetahuan absolut mengadaikan, bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan Iangsung dari hal-hal yang sifatnya supranatural.
Dalam paradigma ini, masyarakat menengah dilihat sebagai sebuah bentuk perkembangan dari masyarakat Kristiani, yang mistikal dan irasional. Banyak Tuhan menjadi satu Tuhan dengan Trinitasnya, yang mengawasi seluruh Alam semesta dan berhubungan dengan umat manusia dalam bentuk manusia. Hak memasuki wilayah wujud yang Maha Agung ini (supreme Being) dilembagakan dalam bentuk Gereja, sebuah birokrasi ekonomi dan politik. yang mengatur relasi manusia dan mengatur pula relasi pengetahuan mereka. Dengan demikian, cara perspektif terdahulu tentang realitas, dimodifikasi untuk mematuhi aturan-aturan teologis mengenai alam semesta.
4. Paradigma Filsafat
Tahap ini merupakan tahap ketiga dari perkembangan cara berpikir manusia. Dari segi isi (Philosophical in content), dengan runtuhnya kekutan Gereja Eropa, muncullah perkembangan yang lebih politis dan sekuler. Keyakinan-keyakinan ini mulai beralih pada individu sebagai alat kontrol, yang tentunya bertentangan dengan alam dan mistikal. Dengan meningkatnya tekanan terhadap alam dan tatanan alam eksternal, meningkat pula tatanan pada rasionalisme dan materialisme, seiring dengan munculnya pengetahuan. Yang jelas, ajaran kristiani tetap menjadi seperangkat keyakinan yang penting, sedangkan tilsafat pencerahan menempatkan individu dan rasionalitas manusia sebagai pusat pengetahuan ketimbang Tuhan dan Alam semesta-Nya. Pada abad ke-18, perkembangan pola pikir manusia bergeser dari agama ke rasionalisme. Hal ini menghadirkan keyakinan sekuler dalam memandang hakikat manusia.
FiIsafat peacerahan juga meyakini eksistensi sebuah tatanan alam (Natural-Order)Mereka memfokuskan pemahaman ini untuk memaksimalkan kebahagian, kebebasan, perkembangan materi dan perkembangan sosial secara umum. Dengan demikian, pada masa ini, pengetahuan menjelma menjadi salah satu disiplin terapan, yang didesain untuk membantu keberlangsungan evolusi sosial.[6]
5. Paradigma Positivistik
Ia merupakan sebuah paradigma perluasan dari filsafat pencerahan, yang digunakan sebagai alat untuk menemukan tatanan yang ada dalam masyarakat.
-----------------------------------------------------------------
Referensi
[1] Graham C Kinloch, Sociological Theoritis Development and Major Paradigm, h. 57
[2] Graham C Kinloch, Sociological Theoritis Development and Major Paradigm, h. 58
[3] Aguste Comte, System of Positive Polity, h. 26
[4] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, h. 5
[5] Aguste Comte, System of Positive Polity, h. 26
[6] Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, h. 66-67
0 komentar:
Post a Comment