Monday, November 8, 2021

STUDI KEBUDAYAAN DALAM ISLAM


A. PENGERTIAN KEBUDAYAAN 
Manusia adalah makhluk Allah, yang diciptakan di dunia sebagai khalifah, manusia lahir, hidup dan berkembang di dunia, sehingga disebut juga makhluk duniawi. Sebagai makhluk duniawi sudah barang tentu bergumul dan bergulat dengan dunia, terhadap segala segi, masalah dan tantangannya, dengan menggunakan budi dan dayanya serta menggunakan segala kemampuannya baik yang bersifat cipta, rasa maupun karsa. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan dunia itu tidaklah selalu diwujudkan dalam sikap pasif, pasrah, dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya. Tetapi justru harus diwujudkan dalam sifat aktif, memanfaatkan lingkungannya untuk kepentingan hidup dan kehidupannya. Dari hubungan yang bersifat aktif itu tumbuhlah kebudayaan. 
Apa arti dan ulasan makna yang terkandung dalam istilah kebudayaan banyak dikaji oleh para ahli. Berikut ini hendak dikemukakan beberapa pendapat para ahli sehubungan dengan masalah tersebut. 
St. Taqdir Ali Sjahbana berpendapat bahwa kebudayaan adalah “manifestasi dari cara berpikir. 
Pengertian ini amat luas, karena semua tingkah laku dan perbuatan manusia dapat dikategorikan hasil cara berpikir, bahwa perasaan pun, menurut beliau, termasuk pikiran juga. Pengertian yang lebih luas lagi dikemukakan oleh Sarmidi Mangunkaro, seorang politikus yang aktif dalam kebudayaan menyatakan, bahwa kebudayaan adalah segala yang merupakan (bersifat) hasil kerja jiwa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Dikatakan lebih luas, karena hasil kerja jiwa manusia mencakup kerja periksa (pikiran, cipta), rasa (perasaan), karsa (kemauan), intuisi, imajinasi, dan bidang-bidang rohani manusia lainnya. Hanya saja dalam definisi tersebut lebih ditekankan pada hasil kerja jiwa manusia, dan belum ditegaskan fungsi raga (jasmani) manusia dalam rangka menciptakan kebudayaan tersebut. 
Pada totalitas manusia adalah mencakup jasmani dan rohani (jiwa), atau material substance dan spiritual substance secara seimbang, dan masing-masing mempunyai peranan dalam menciptakan kebudayaan. 
Definisi yang lainnya dikemukakan oleh Koentjoroningrat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, Koentjoroningrat juga mengemukakan adanya 3 wujud dari kebudayaan, yaitu: 
  1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dan sebagainya, 
  2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan 
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. 
Dalam praktiknya, wujud kebudayaan tersebut tidak terpisah satu dengan yang lain. Wujud dan isi kebudayaan yang dimiliki oleh manusia pada gilirannya akan mewarnai konsep tentang manusia itu. Mengenai isi atau ruang lingkup kebudayaan itu adalah luas sekali, mencakup segala aspek kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia. Hanya saja ada sementara ahli yang memasukkan agama sebagai salah satu isi kebudayaan. Hal ini tentu merupakan persoalan tersendiri yang perlu didudukkan secara proporsional. 
Agama yang ada di dunia ini pada intinya dapat dikelompokkan ke dalam (2) dua macam, yaitu agama samawi/wahyu (revealed religion) jenis agama bukan wahyu/agama budaya (non-revealed religion). Jenis agama yang pertama bukanlah produk manusia tidak berasal dari manusia, tetapi dari Tuhan. Karena itu tidak bisa dimasukkan dalam bagian kebudayaan. Sedangkan jenis agama yang kedua, karena merupakan produk manusia dan berasal dari manusia, maka dapat dikategorikan ke dalam bagian kebudayaan. Definisi-definisi yang telah dikemukakan terdahulu tampaknya belum menyinggung tujuan dari kebudayaan itu sendiri, sehingga kebudayaan bisa jadi menimbulkan kesejahteraan manusia, atau sebaliknya malahan menimbulkan malapetaka bagi kehidupan dan penghidupan manusia, baik individu maupun masyarakat, ataupun individu dan masyarakat sekaligus. Karena itu di sini perlu dikemukakan definisi kebudayaan yang lebih lengkap. 
Endang Saifuddin Anshari, setelah mempelajari beberapa pandangan para ahli tentang pengertian kebudayaan, kemudian dia sampai pada rumusannya sendiri tentang kebudayaan, yaitu bahwa kebudayaan (kultur) adalah hasil karya cipta (pengolahan, pengarahan, dan pengarahan terhadap alam oleh manusia) dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinasi dan bidang-bidang rohaniah lainnya) dan raganya, yang menyatakan diri dalam berbagai kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia, sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan ekstra diri manusia, menuju ke arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spiritual dan materiil) manusia, baik individu maupun masyarakat ataupun individu dan masyarakat. 
Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi dari definisi tersebut, yaitu bahwa: 
  1. Kebudayaan adalah man-made atau karya/ciptaan manusia, 
  2. Yang menjadi bahan kebudayaan adalah alam, baik bahan alam yang ada pada diri manusia maupun bahan alam yang terdapat di luar diri manusia, 
  3. Yang dijadikan alat penciptaan kebudayaan adalah jiwa dan raga (jasmani) manusia. Termasuk ke dalam jiwa adalah: periksa (pikiran, cipta), rasa (perasaan), karsa (kemauan), intuisi, imajinasi, dan bagian-bagian rohani manusia lainnya, 
  4. Ruang lingkup kebudayaan meliputi segala aspek kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia, 
  5. Pada garis besarnya kebudayaan dapat dibedakan atas kebudayaan immateri dan kebudayaan materi, 
  6. Tujuan kebudayaan adalah untuk kesempurnaan dan kesejahteraan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat, atau individu dan masyarakat sekaligus: 
  7. Kebudayaan merupakan jawaban atas tantangan, tuntutan, dan dorongan intra diri manusia dan dari ekstra diri manusia: dan 
  8. Kebudayaan itu dapat diwariskan dan diwarisi melalui proses pendidikan dan kebudayaan. 
B. KEBUDAYAAN ISLAM DAN CIRI-CIRINYA 
Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa agama samawi (revealed religion atau agama wahyu) bukanlah wahyu yang termasuk kebudayaan, karena ia bukan produk manusia, tetapi dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah) yang telah menurunkan wahyu pada utusannya, untuk disebarkan pada manusia. Agama Islam termasuk agama samawi (agama wahyu), sehingga tidak ter-masuk kebudayaan namun demikian, agama Islam telah mendorong para pemeluknya untuk menciptakan kebudayaan dengan berbagai seginya. Dorongan tersebut dapat dikaji dari ajaran dasarnya sebagai berikut: 
  1. Islam menghormati akal manusia, meletakkan akal manusia pada tempat yang terhormat dan menyuruh manusia mempergunakan akalnya untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam, di samping dzikir kepada Allah penciptanya. Hal ini dapat dipahami dari firman-Nya dalam OS. Ali Imran: 190-191. 
  2. Agama Islam mewajibkan kepada tiap-tiap pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mencari dan menuntut ilmu, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah OS. al-Mujadilah: 11 dan Hadis Nabi SAW. “Menuntut ilmu wajib bagi setiap orang Islam," serta maqallah “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. 
  3. Agama Islam melarang orang bertaklid buta, menerima sesuatu tanpa diperiksa lebih dahulu, walau dari ibu bapak dan nenek moyang sekalipun. Sebagaimana firman Allah dalam OS. Al-Isra': 36. 
  4. Agama Islam juga mendorong dan menggalakkan para pemeluknya agar selalu menggali hal-hal yang baru atau mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh serta membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat pada masyarakat. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah OS. al-Insyirah: 7-8, dan Hadits Nabi SAW. “Barang siapa yang berinisiatif atau memulai suatu cara keduniaan yang baik, maka baginya pahala sebanyak pahala untuk orang yang langsung melaksanakannya sampai hari kiamat". 
  5. Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya untuk mencari keridhoan Allah dalam semua nikmat yang telah diterimanya dan menyuruh mempergunakan hak-haknya atas keduniaan dalam pimpinan dan aturan agama. Sebagaimana firman Allah dalam OS. al-Gashash: 77. 
  6. Agama Islam juga menganjurkan para pemeluknya agar pergi meninggalkan kampung halamannya, berjalan ke daerah/negeri untuk menjalin silaturahmi atau komunikasi dengan bangsa atau golongan lain, serta saling bertukar pikiran, pengetahuan, dan pandangan. Sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam OS. al-Hajj: 46 dan sebagainya, serta Hadits SAW. “Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam (ciptakan stabilitas keamanan dan perdamaian), hubungkan silaturahmi (persaudaraan, komunikasi, dan konsultasi), berilah makan (tingkatkan taraf ekonomi fakir miskin yang lemah ekonominya) dan shalatlah di tengah-tengah malam sementara manusia sedang asyik tidur nyenyak, pasti engkau akan masuk surga (mencapai kebahagiaan hidup) dengan selamat dan sejahtera” (HR. al-Tirmidzi). 
  7. Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya untuk memeriksa dan menerima kebenaran dari mana dan siapa pun datangnya, dengan catatan harus melalui proses seleksi, sehingga dapat menemukan ide, gagasan, teori, atau pandangan yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Sebagaimana dapat dipahami dari firman-Nya dalam OS. al-Zumar ayat 17-18. 
Sebenarnya masih banyak ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya yang membicarakan masalah tersebut, tetapi dari ketujuh point tersebut sudah dapat dipahami bahwa ajaran agama Islam memang benar-benar mendorong para pemeluknya dan atau menyuruh mereka untuk menciptakan kebudayaan dalam berbagai seginya. Dengan adanya isyarat tersebut berarti bahwa kebudayaan Islam atau lebih tepatnya disebut kebudayaan muslim, mesti adanya. Karena itu sebelum melacak lebih jauh perlu dikaji lebih dahulu apa sebenarnya kebudayaan Islam (muslim) itu sendiri. Sidi Gazalba menyatakan, bahwa kebudayaan Islam dalam “cara berpikir dan cara merasa takwa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekumpulan manusia yang membentuk masyarakat,” atau dapat disarikan sebagai “cara hidup yang bertakwa.” 
Menurut Sidi Gazalba, bahwa cara hidup takwa menempuh jalan syariat, menjalankan perintah, serta manjauhi larangan. Syariat mengikatkan/mempertalikan muslim pada prinsip-prinsip tertentu yang digariskan oleh Al-Qur'an dan al-Sunnah (naqal). Karena itu, akal dalam kegiatannya mengatur kehidupan merujuk pada naqal, dengan kata lain gerak atau kegiatan kebudayaan itu memang dari akal, tetapi asas gerak itu atau prinsip yang dipegangi akal dalam kegiatannya adalah dari naqal. Dari asas yang telah ditentukan dan digariskan oleh naqal itu kemudian adalah menentukan cara pelaksanaannya. Karena itu, yang merupakan karya manusia dalam kebudayaan Islam ialah cara pelaksanaan yang bersifat dinamik, sedangkan prinsip-prinsipnya berasal dari Allah dan bersifat tetap. Nilai asas (root values) prinsip-prinsip itu digariskan oleh syariat, ada nilai yang harus dikerjakan (wajib), nilai yang dianjurkan (sunnat): nilai netral, yakni baik tidak dan buruk pun tidak (jaiz/mubah): ada nilai yang dibenci (makruh): dan ada pula nilai buruk (haram). Cara pelaksanaan prinsip-prinsip itu dipikirkan oleh ijtihad (instrumental values-nya) dan dikerjakan oleh tangan, sedangkan kemauan untuk mengerjakan itu dipancarkan oleh takwa. Namun demikian kita harus mampu mendudukkan secara proporsional, mana yang termasuk nilai asas (root values) dan mana pula yang termasuk cara pelaksanaan (instrumental values). Sebab kadang kala ada sesuatu yang tampaknya merupakan cara pelaksanaan, tetapi yang sebenarnya adalah nilai asas (root values). Sebagai contoh: cara pelaksanaan shalat, puasa, dan sebagainya, sebagaimana yang terulang pada nash yang jelas dan syariat, harus didudukkan sebagai root values, bukan instrumental values, itu bukan merupakan kebudayaan. Di lain pihak Endang Saifuddin Anshari mempertanyakan “adakah kebudayaan Islam itu?” Menurut pendapatnya, bahwa karena kebudayaan itu man-made (karya budaya manusia), maka yang jelas-jelas ada ialah kebudayaan muslim itu dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu: 
  1. Kebudayaan muslim yang islami, yakni kebudayaan karya budaya muslim yang committed pada al-Islam, dan 
  2. Kebudayaan muslim yang tidak islami, yakni kebudayaan muslim yang tidak committed pada al-Islam. Muslim yang committed pada al-Islami ialah muslim yang mengimani (menghayati), mengilmui, mengamalkan, dan mendakwahkan Islam, serta sabar dalam ber-Islam. 
Namun demikian, Endang Saifuddin Anshari juga mempermasalahkan tentang “apakah mungkin tercipta kebudayaan yang seratus persen islami di dunia ini?” Dalam hal ini dia telah menjelaskan bahwa kebudayaan itu karya manusia, sedangkan di dunia tidak seorang pun (kecuali Rasul) yang sempuma. Karena itu tidak mungkin mengharapkan sesuatu kesempurnaan dari sesuatu yang tidak seratus persen sempurna. Tercapainya kesempumaan adalah tujuan ideal manusia, namun bukan tugas manusia. Tugas manusia bukan sampai pada kesempurnaan, melainkan bergerak, berupaya, dan berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Karena itu kebudayaan muslim nilainya tidak mutlak, terikat oleh ruang dan waktu, terbuka untuk revisi, koreksi dan reevaluasi. Setiap muslim berhak untuk berimprovisasi (melakukan sesuatu) dalam mengulturkan natur dan dalam mengislamkan kultur sesuai dengan tuntutan alam/tempat dan zamannya, yang masing-masing bisa berbeda dengan lainnya. Apabila kebudayaan muslim sudah dimutlakkan, yang nilai kemutlakannya disamakan dengan al-Islaim, maka akan timbul kemandekan kebudayaan yang pada giliran selanjutnya akan menjadi barang antik yang tidak berguna lagi, serta daya kreativitasnya akan terhenti. Dengan memerhatikan pendapat Endang Saifuddin Anshari tersebut, yakni bahwa ada kebudayaan muslim islami (committed pada al-Islam), dan ada kebudayaan muslim yang tidak islami (tidak committed pada al-Islam), berakibat memaksa kita untuk menyeleksi kembali hasil karya (budaya) muslim pada masa keemasan/kejayaannya. Jika buah/hasil karya itu berasal dari muslim yang tidak committed pada al-Islam, maka haruslah dikeluarkan dari kebudayaan dan peradaban Islam. Berbeda dengan pendapat Kuntowijoyo yang menyatakan bahwa kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang muncul, memancar dari agama Islam, atau semua budaya (karya manusia) yang terpengaruh oleh karena ada agama Islam. Kebudayaan Islam itu mempunyai tiga (3) komponen, yaitu: sistem nilainya, sistem pengetahuan, dan sistem simbol. Dan kita tidak perlu membicarakan apakah budaya Islam itu islami atau tidak islami, sebab hal ini tidak lagi menanyakan masalah kebudayaan. Dalam arti bahasa kebudayaan itu islami atau tidak, adalah di luar wewenang atau di luar budaya itu sendiri, karena hal itu berarti kita kembali ke normatif. Sedangkan Nourouzzaman Shiddiq tidak memberikan definisi tentang kebudayaan Islam (muslim), tetapi dia mengemukakan ciri-cirinya yaitu: 
  1. Bernafaskan Tauhid, karena tauhidlah yang menjadi pokok ajaran Islam, 
  2. Hasil buah pikir dan pengolahannya adalah dimasukkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan membahagiakan umat manusia. 
Sebab Islam diturunkan dari Nabi saw. Diutus adalah membawa rahmat bagi semesta alam. Di samping itu manusia dijadikan sebagai khalifah Allah di bumi dengan dibebani tugas untuk menjaga keindahan ciptaan Allah ini. Sebagaimana firman-Nya dalam OS. al-A'raf: 56, yang maksudnya “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya”, dan firman Allah dalam OS. al-Oashash ayat 77, yang maksudnya “Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." Karena itulah produk budaya yang membawa malapetaka dan kehancuran, jelas tidak termasuk kebudayaan yang bercirikan Islam. Setelah dikemukakan beberapa pandangan para ahli ataupun ciri-ciri kebudayaan Islam (muslim) tersebut, maka ada satu hal yang disepakati oleh mereka, yaitu bahwa berkembangnya kebudayaan menurut padangan Islam bukanlah value free (bebas nilai), tetapi justru value bound (terikat oleh nilai). 
Keterikatan terhadap nilai tersebut bukan hanya terbatas pada wilayah nilai insani, tetapi juga menembus pada nilai Ilahi sebagai pusat nilai, yakni keimanan pada Allah, dan iman ini akan mewarnai semua aspek kehidupan atau memengaruhi nilai-nilai lain. Untuk memperjelas statemen tersebut, barang kali perlu dijelaskan hierarki tata nilai itu sendiri serta hubungan antara satu dengan lainnya. Menurut Noeng Muhadjir bahwa secara hierarkis nilai dapat dikelompokkan ke dalam dua macam, yaitu (1) nilai-nilai ilahiah, yang terdiri dari nilai ubudiah dan nilai muamalah, (2) nilai etika insani, yang terdiri dari: nilai rasional: nilai sosial: nilai individual: nilai biofisik: nilai ekonomis: nilai politik, dan nilai estetika. Dari paradigma tersebut dapat dipahami bahwa nilai Ilahi (nilai hidup etik religius) memiliki kedudukan vertikal lebih tinggi pada nilai hidup lainnya. Di samping itu, nilai Ilahi mempunyai konsekuensi pada nilai lainnya, dan sebaliknya nilai lainnya memerlukan konsultasi pada nilai Ilahi, sehingga relasi/hubungannya termasuk vertikal linier. Sedangkan nilai hidup insani (tujuh nilai insani tersebut) mempunyai relasi sederajat dan masing-masing tidak harus berkonsultasi, sehingga hubungannya termasuk horizontal-lateral. 
Mungkin kita bertanya “apakah yang sosial lebih tinggi daripada yang individual?” Filsafat hidup bangsa Indonesia mendudukkan keduanya sederajat, tetapi ada keharusan terapan nilai individual harus mempertimbangkan konsekuensi nilai sosialnya, demikian pula terapan nilai sosial harus mempertimbangkan konsekuensi individualnya, atau menurut istilah lainnya keseimbangan antara kepentingan individual dan sosial. Karena itu realisasinya termasuk lateral-sekuler. Terapan nilai rasional (misalnya mengejar prestasi studi) juga harus diimbangi dengan konsekuensi biofisiknya (seperti: menjaga kesehatan, mengatur makan, dan istirahat). Karena itu hubungan yang biofisik dengan rasional juga lateral-sekuensial. Demikian pula yang biofisik dengan yang aestitis, dan sebagainya. Sedangkan hierarki menurut Sidi Gazalba adalah sebagai berikut: 
  1. Nilai-nilai yang wajib (paling baik): 
  2. Nilai-nilai yang Sunnah (baik): 
  3. Nilai-nilai yang jaiz/mubah (netral): 
  4. Nilai-nilai yang makruh (tak disukai/setengah buruk), dan 
  5. Nilai-nilai yang haram (buruk). 
Nilai-nilai tersebut cakupannya menyangkut seluruh bidang, yaitu menyangkut nilai ilahiyah ubudiah, ilahiah muamalah, dan nilai etik insani yang terdiri dari: nilai sosial, rasional, individual, biofisik, ekonomi, politik, dan estetika. Dan sudah barang tentu nilai-nilai yang jelek tidak dikembangkan/ditinggalkan. Namun demikian sama-sama satu nilai kewajiban masih dapat didudukkan mana kewajiban yang lebih tinggi dibadingkan kewajiban yang lain yang lebih rendah menurut Noeng Muhadjir. Contohnya: kewajiban untuk beribadah haruslah lebih tinggi dibandingkan dengan kewajiban melakukan tugas politik, ekonomi, dan sebagainya. 
Di samping itu, masing-masing bidang nilai masih dapat dirinci mana yang esensial dan mana yang instrumental. Misalnya: pakaian jilbab bagi kaum wanita, ini menyangkut dua nilai tersebut, yaitu nilai esensial, dalam hal ini ibadah menutup aurat, sedangkan nilai insaninya (instrumental) adalah nilai aestetik, sehingga bentuk, model warna, cara memakai, dan sebagainya dapat bervariasi sepanjang dapat menutup aurat.

Sunday, October 11, 2020

RISALAH AL-QADHA' KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB


 Risalah al-Qadha’u[1]

اما بعد فان القضاء فريضة محكمة وسنة متبعة

Amma ba'du. Sesungguhnya memutuskan perkara adalah fardlu yang dikokohkan dan sunnah yang harus diikuti.

فافهم اذا ادلي إليك فانه لا ينفع تكلم بحقي لا نفاذ له

Lalu fahamilah apabila diajukan kepadamu (suatu perkara), dan putuskanlah apabila telah jelas (kedudukannya), karena sebenarnya tidaklah ada artinya bicara soal keadilan tanpa ada pelaksanaannya.

اس بين الناس في مجلسك و في وجهك وقضائك حتى لا يطمع شريف في حيفك ولا ييأس ضعيف من عدلك

Sama ratakanlah manusia (pihak-pihak yang berperkara) dalam majlismu, dalam pandanganmu, dan dalam keputusanmu, sehingga orang yang berpangkat tidak akan mengharapkan penyelewenganmu, dan orang yang lemah tidak sampai putus asa mendambakan keadilanmu.

البينة على المدعي واليمين على من انكر

Bukti itu (wajib) atas penggugat (penuduh), sedang sumpah itu (wajib) atas pihak yang menolak (gugatan/tuduhan).

السلح جائز بين المسلمين الا صلحا احل حراما او حرم حلالا

Dan boleh mengadakan perdamaian di antara kaum Muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

و من ادعى حقا غائبا او بينة فاضرب له امدا ينتهي اليه فان بينه اعطيته بحقه وان اعجزه ذلك استحللت عليه القضية فان ذلك ابلغ في العذرواجلى للعمى

Dan barangsiapa yang mendakwakan suatu hak yang tidak ada di tempatnya, atau suatu bukti, maka berilah tempo kepadanya sampai ia dapat membuktikan dakwaannya, kemudian kalau ia dapat membuktikannya, maka berikanlah haknya itu, tetapi kalau ia tidak mampu membuktikannya, maka ia berhak dikalahkannya, karena yang demikian itu lebih mantap bagi keuzurannya dan Iebih menampakkan barang yang tersembunyi.

BACA JUGA SEJARAH PERADILAN DARI MASA KE MASA

ولا يمنعنك قضاء قضيت فيه اليوم فراجمعت فيه رايك فهديت فيه لرشدك ان تراجع فيه الحق، فان الحق قديم لا يبطله شيء و مراجعة الحق خير من التمادي في الباطل

Dan janganlah sekaIi-kali, suatu keputusan yang telah engkau jatuhkan hari ini, menghalang-halangimu untuk engkau tinjau kembali, lalu engkau memperoleh petunjuk agar engkau kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu (harus) didahulukan, tidak dapat dibatalkan oleh apapun, sedang kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus bergelimang dalam kebatilan.

والمسلمون عدول بعضهم على بعض الا مجربا عليه شهادة زور او مجلودا في حد اوظنينا في ولاء او قرابة فان الله تعالى تولى من العباد السرائر وستر عليهم الحدود الا بالبينات والايمان

Orang-orang Islam itu (dianggap) adil sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, kecuali orang yang pernah memberikan kesaksian palsu atau orang yang pernah dijatuhi hukuman had, atau orang yang diragukan tentang asal-usulnya, karena sesungguhhya Allah yang mengetahui rahasia-rahasia manusia dan menghindarkan hukuman atas mereka, kecuali dengan adanya bukti-bukti atau sumpah-sumpah.

ثم الفهم الفهم في ما ادلي اليك مما ورد عليك مما ليس في قران ولا سنة ثم قايس الامور عند ذلك، واعرف الامثال ثم اعمد فيما براء الى احبها الى الله واشبهها بالحق

Kemudian fahamilah dengan sungguh-sungguh tentang perkara yang diajukan kepadamu, yang tidak terdapat (ketentuan hukumnya) di dalam Qur’an dan tidak terdapat pula di dalam Sunnah Nabi saw,, kemudian bandingkanlah perkara-perkara itu, dan perhatikanlah (perkara) yang serupa (hukumnya dengan perkara-perkara itu), kemudian pegangilah mana (hukum) yang menurut pendapatmu lebih diridhai Allah dan lebih mendekati kebenaran.

Hindarkanlah dirimu dari marah, pikiran yang kacau (goyah), rasa jemu, menyakiti orang yang berperkara, dan bersikap keras pada waktu menghadapi mereka, karena memutus perkara di tempat yang benar, adalah termasuk pekerjaan yang dipahalai oleh Allah dan membawa nama baik, maka barangsiapa memurnikan niatnya demi mencari kebenaran, walaupun merugikan diri sendiri, maka Allah akan memberinya kecukupan, dan barangsiapa berlagak (memiliki keahlian) yang tidak ada pada dirinya, maka pasti Allah akan (membuka rahasia) kejelekannya itu, karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima (amal) dari hamba(Nya) kecuali (amal) yang didasari dengan ikhlas, lalu bagaimanakah persangkaanmu tentang pahala dari Allah, baik yang akan segera diberikan maupun yang berada di dalam perbendaharaan rahmat-Nya.

Wassalamu’alaikum warahmatullah.

 



[1]Ibnul Qayim al-Jauziyah, A’lamul Muwaqqi’in, Juz 1, h. 85-86.

SEJARAH PERADILAN DARI MASA KE MASA


Peradilan dari segi sejarahnya

Sejarah adanya peradilan telah sejak masa silam, karena didorong oleh kebutuhan kemakmuran hidup dan kejadian manusia itu sendiri, oleh karena itu, peradilan telah dikenal sejak masa-masa pertama, dan tidak mungkin suatu pemerintahan di dunia ini, apapun bentuknya, yang akan dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan, karen atidak mungkinnya masyarakat manusia dapat menghindari persengketaan, oleh karena itu pula maka peradilan dipandang suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat kemajuannya. Karena menegakkan peradilan berarti memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kezaliman, menyampaikan hak kepada yang berhak, mencegah tindakan kezaliman, mengusahakan islah di antara manusia, menyelamatkan sebagian mereka dari kesewenang-wenangan ssebagian yang lain, karena manusia tidak mungkin memperoleh kestabilan urusan mereka tanpa adanya peradilan. Dengan adanya peradilan, maka darah manusia dilindungi, dan pada suatu saat terpaksa ditumpahkan, dan dengan peradilan manusia diperjodohkan, dan perzinahan diharamkandan harta benda ditetapkan pemiliknya, dan juga suatu ketikam dicabut hak kepemilikan itu, dan muamalat dapat diketahui mana yang boleh dan mana yang dilarang, mana yang makruh dan mana yang disunnahkan.

Kehidupan manusia pada setiap masanya selalu membutuhkan peradilan, sebab kalau tidak, maka kehidupan mereka akan menjadi liar, dan kalau telah dimaklumi perlunya undang-undang bagi kehidupan masyarakat, sedang sekedar menetapkan susunan undang-undang belumlah cukup untuk menyelamatkan kehidupan sosial dan menertibkannya, karena manusia kadang-kadang berselisih tentang makna rumusan undang-undang, tentang tunduk kepada undang-undang itu serta kewajiban menghormatinya, dan kadang-kadang perselisihan mereka itu terletak pada penerapan rumusan undang-undang itu terhadap kasus yang terjadi, baik yang menyangkut makna undang-indang itu sendiri maupun segi lainnya, dan kadang-kadang ada yang secara terang-terangan menentang rumusan undang-undang itu atau memungkirinya, maka peradilanlah yang akan berperan menentukan makna undang-undang dengan secara sempurna, karena menentukan yang lebih nyata dari kekhusussan-kekhusussan rumusan undang-undang adalah termasuk sifat suatu penetapan.[1]

1. Peradilan bagi bangsa romawi, persi dan mesir kuno[2]

Daulat persi, romaei dan bangsa mesir kuno telah memiliki lembaga peradilan yang terorganisir dengan memiliki undang-undang, peraturan-peraturan atau program-program yang dilaksanakan oleh para qadhi, dan sejarah timur dekat mengkidahkan kepada kita tentang adanya syari’at Hamurabi yang meletakkan dasar peradilan yang telah mendekati keadilan, dan Daulat Asyur yang didirikan di atas puing-puingnya, dan setelah itu Daulat Israil, dan bangsa-bangsa sebelum Islam, yang berpendapat bahwa alat-alat bukti itu adalah; saksi, sumpah atau keadaan tertangkap basah. Sejarah bangsa bangsa Barat juga menceritakan kepada kita tentang teknis pengambilan keputusan dan alat-alat pembuktian yang asing sampai pada pertengahan abad ke XII Miladi.

Apapun keadaannya, namun yang jelas, bahwa sejrah peradilan telah dimulai sejak masa-masa silam.

Sedang hal yang teristimewa yang menjadi perhatian bangsa-bangsa ini tentang peradilan ada dua macam:

  1. Kemampuan qadhi, dan kebaikan akhlaknya, maka tidak akan seseorang diangkat sebagai qadhi apabila ia tidak memiliki kemampuan bidang ini, oleh karena itu akan diperhatikan pula tentang kecerdasannya, kecerdikannya, dan keluasan ilmunya, demikian juga tentang segi-segi ketenangan hatinya, kebersihan jiwanya dan keluhuran budinya.
  2. Bahwa qadhi harus diliputi situasi yang dapat menjamin kebebasan dirinya dalam melaksanakan tugasnya yang suci, maka semakin tinggi kemajuan bangsa, maka semakin besar pula jaminan-jaminan tersebut dapat diperoleh oleh para qadhi.

2. Peradilan bagi bangsa Arab sebelum Islam[3]

Bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki qadhi untuk menyelesaikan segala sengketa mereka, hanya saja mereka belum memiliki undang-undang tertulis yang dapat dijadikan pegangan para qadhi. Sedang mereka memutuskan hukum-hukum mereka dengan cara menyesuaikan dengan adat kebiasaan mereka yang turun-temurun, dan dari pendapat kepala-kepala suku, atau dari orang-orang yang mereka pandang arif yang dikenal sebagai orang-orang yang jitu pendapatnya, dan menyita hak-hak dengan firasat dan tanda-tanda, sedang kecerdasan ahli-ahli hukum mereka, menyebabkan mereka lebih mendahulukan memutuskan hukum dengan firasat dan tanda-tanda daripada dengan alat-alat bukti lainnya seperti saksi atau pengakuan.

Dan mereka menyebut qadha sebagai hukumah, sedang qadhi mereka sebut hakam, dan setiap qabilah (puak) memiliki hakam sendiri dan hukuman (badan peradilan) bagi mereka tidak ada yang berdiri sendiri kecuali bagi suku Quraisy, dan para hakam menyelenggarakan sidang-sidangnya di bawah pepohonan atau kemah-kemah yang didirikan, sampai dibangunnya gedung-gedung dan bangunan-bangunan dan di antara gedung-gedung itu yang termasyhur ialah Darun Nadwah yang berada di Mekah, dan gedung itulah yang pertama kali didirikan di sana, yang dibangun oleh Qushay bin Ka’ab, yang pintunya dihadapkan mengarah ke Ka’bah, dan pada permulaan Islam, gedung itu menjadi tempat tinggalnya para Khalifah dan amir-amir di waktu musim hajji, dan pada pertengahan abad ke XIII Hijriah setelah gedung itu roboh atau doyong, maka Khalifah Mu’tadlid al Abbasy (281 H) memerintahkan agar gedung tersebut dihancurkan sama sekali dan dihubungkannya dengan Masjidil Haram.

Kedua: Taha-tahap yang dilalui peradilan di masa Islam.

3. Peradilan di mass Rasulullah saw.[4]

Setelah Islam datang dan Allah memerintahkan Nabi-Nya (Muhammad saw.) agar menyampaikan risalah, maka Ia memerintahka juga agar ia menyelesaikan segala sengketa yang timbul dengan firman-Nya:

فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في انفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما

Terjemahnya:

”Maka demi Tuhanmu, mereka itu (hakekatnya) tidak beriman, sehingga mereka mau menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. ” (QS al-Maidah; 65) 

Dan di ayat lain Ia memerintahkan kepada Nabi-Nya, dan membimbingnya agar memutuskan hukum dengan apa yang Ia turunkan kepadanya. Firman-Nya:

فاحكم بينهم بما انزل الله

Terjemahnya:

”Dan putuskanlah hukum di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah” (QS al-Nisa: 51)

Dan firman-Nya:

انا انزلنا الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما اراك الله ولا تكن للخائنين خصيما

Terjemahnya:

"Sesungguhnya Kami telah menarunkan Kitab kepadamu, dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang yang khiyanat.”(QS al-Maidah: 105)

Mulailah Rasulullah saw. melaksanakan perintah Tuhannya, kemudian ia berda’wah, dan di Madinah ia menampilkan dirinya untuk menyelasaikan persengketaan-persengketaan,  dan mcmberikan fatwa-fatwa, di samping menyampaikan kepada manusia apa yang diwahyukan Allah kepadanya tentang hukum-hukum dan mengatur pelaksanaan hukum-hukum tersebut, maka di tangan Nabi saw tergenggam kekuasaan-kekuasaan ini semua dan belum dipisahkan, maka diajukanlah kepadanya berbagai perkara lalu ia putuskan hukumnya, sebagaimana halnya ia memberikan fatwa apabila diajukan permohonan fatwa kepadanya, sedang ia memutuskan hukum terhadap hak-hak manusia atas dasar dhahirnya perkara dan dengan sumpah apabila tidak ada bukti, dan keputusan hukum Nabi saw. adalah berdasarkan ijtihad dan bukan dari wahyu.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis, bahwa Nabi saw. pernah bersabda kepada dua orang laki-laki yang bersengketa tentang harta pusaka antara keduanya yang telah lenyap bukti-buktinya:

انما انا بشر مثلكم وانكم تختصمون الي ولعل بعضكم الحن بحجته من بعض

Artinya:

”Sesungguhnya aku hanya seorang manusia sebagaimana kamu semua, sedang kamu mengajukan perkara kepadaku, oleh karena itu barangkali sebagian kamu lebih mengerti dan lebih mengetahui daripada sebagian yang lain” (HR Bukhari Muslim)

Dan kedua belah pihak di hadapan Nabi saw., masing-masing bebas (mengemukakan isi hatinya) sehingga masing-masing dapat mendengarkan pembicaraan pihak lawannya. Sedang alat-alat baginya adalah: pengakuan, saksi, sumpah, firasat, diundi dan lain-lainnya. Dan Nabi saw. bersabda:

البينة على المدعي واليمين على من انكر

Artinya:

”Bukti itu (wajib) bagi penggugat, dan sumpah itu (wajib) bagi orang yang ingkar. ”

Maksudnya, bahwa penggugat dituntut untuk dapat membuktikan atas gugatannya, dan Nabi saw. bersabda:

امرت ان احكم بالظاهر والله يتولى على السرائر

Artinya:

”Aku diperintahkan memutuskan hukum dengan berdasar kepada dhahirnya perkara, sedang Allah yang mengetahui segala rahasia.”

Di samping itu, setelah da’wah Islam mulai tersebar, maka Rasulullah saw. memberi izin sebagian sahabatnya (untuk memutuskan hukum perkara yang mereka hadapi) karena jauhnya tempat, dan bahka diizinkan juga di antara Sahabatnya untuk memutuskan perkara di tempat Nabi saw. berada, dan hal ini dimaksudkan sebagai pendidikan bagi sahabatnya tentang ijtihad, memutuskan perkara dan memimpin bangsa, serta membimbing dan menyiapkan bolehnya mengangkat penguasa-penguasa dan hakim-hakim.  

Imam Tirmidzi meriwayatkan di dalam Sunannya:

ان عثمان قال لعبد الله بن عمار اذهب فقض بين الناس فقال اوتعافيني يا امير المؤمنين قال وما تكره من ذلك وقد كان ابوك يقضى  قال ان ابي كان يقضى فإن أشكل عليه شيء سأل رسول الله

Artinya:

”Bahwa Khalifah Usman bin Affan pemah berkata kepada Abdullah bin Umar: Pergilah kcmudian putuskanlah perkara di antara manusia. Ia menjawab: Hendaknya engkau bebaskan aku hai Amirul mukminin! Khalifah berkata: Apakah gerangan yang menyebabkan engkau enggan (melaksanakan) itu, padahal ayahmu pernah melaksanakannya? Ia menjawab: Sesungguhnya ayahku dahulu pernah (diserahi tugas) memutus perkara, tapi kalau in menemui kesulitan, ia (langsung) bertanya kepada Rasulullah saw....”

Ini bukti, bahwa Umar bin Khathab pernah melaksanakan peradilan di zaman Rasulullah saw.

Seperti juga diriwayatkan, bahwa Rasul saw. pernah mcngutus Ali bin Abi Thalib padahal ia masih muda belia ke Yaman untuk ditugaskan memutus perkara di antara mereka, lalu beliau menepuk dada Ali seraya berdo’a:

اللهم هدى قلبه وسدد لسانه

Artinya:

”Ya Allah berilah petunjuk hatinya dan luruskanlah pembicaraannya.”

Dan beliau memesan kepadanya (Ali):

اذا جلس بين يديك الخصمان فلا تقضى حتى تسمع كلام الأخر كما سمعت من الاول فانه احرى ان يتبين لك القضاء

Artinya:

”Apabila duduk di hadapanmu, dua pihak yang berperkara, maka janganlah tergesa-gesa memutuskan hukum, sebelum kamu mendengar pembicaraan kedua belah pihak, karena hal itu lebih patut bagimu dalam mengambil keputusan. ”

Dan diriwayatkan bahwa pernah dihadapkan kepada Ali suatu kasus, lalu Ia berkata:

اقضي بينكم فإن رضيتم فهو القضاء، والا حجزت بعضكم عن بعد حتى تأتوا رسول الله ليقضي بينكم فلما قضى بينهم ابو ان يتراضعوا واتوا الرسول ايام الحج فهو عند مقام ابراهيم، وقصّوا عليه ما حدث فاجاز قضاء علي وقال: هو ما قضى بينكم

Artinya:

”Aku akan putuskan hukum di antara kamu, kemudian kalau kamu telah menerima (keputusanku itu) maka laksanakanlah, tetapi kalau kamu tidak mau menerimanya, maka aku cegah sebagian kamu dari sebagian yang Iain (berbuat sesuatu), sampai kamu menghadap (sendiri) kepada Rasulullah saw. agar ia memutus di antara kamu. Lulu setelah Ali memutuskan hukum di antara mereka itu, maka mereka menolak dan tidak mau menerima keputusannya, dan pergilah mereka menghadap Rasulullah. Pada musim haji, sedang Beliau berada di makam Ibrahim dan berceritalah mereka kepada beliau tentang apa yang telah terjadi. Kemudian Nabi saw. membenarkau keputusan Ali dan bersabda: Itulah apa yang telah ia putuskan di antara kamu.[5] 

Kejadian di atas menunjukkan:

Pertama: Bahwa peradilan dan kekuasaan pemerintahan bcrada pada satu tangan, dan dengan kalimat lain dapat dikatakan, bahwa kekuasaan paradilan dan kekuasaan pemerintahan tidak dipisahkan satu dengan yang lain. Dan ini disimpulkan dari perkataan Ali! kamu telah menerima (keputnsan itu) maka laksanakanlah, tetapi kalau kamu tidak mau menerimanya, maka aku cegah sebagian kamu dari sebagian lain (berbuat sesuatu), sampai... dan seterusnya.

Kedua: bahwa di masa Nabi saw. telah dikenal adanya peninjauan kembali suatu putusan hukum yang telah dijatuhkan dan hal itu secara praktis dilakukannya, karena apa yang terjadi itu menggambarkan semacam adanya keputusan dari pengadilan yang lebih tinggi, sehingga ditunjau kembali perkara itu, kemudian keputusan itu ada kemungkinan akan dibatalkan, atau dikukuhkan, atau diganti dengan keputusan baru.

Dilihat dari kata-kata Ali’ sampai kamu datang sendiri kepada Rasul saw. sedang Ali tidak memaksa mereka mematuhi keputusannya, dalam kedudukannya sebagai pembentnk hukum dan sebagai hakim kaum muslimin dan sebagai pengawas terhadap pelaksanaan hukum-hukum Islam, dan bahkan ia lebih menonjolkan dalam kedudukannya sebagai qadhi, yaitu nampak dalam kata-katanya: ’agar ia (Nabi saw.) memutuskan di antara kamu’, dan juga dilihat dari kata-kata Nabi saw. ketika perkara itu dinaikkan banding kepadanya: ’Itulah apa yang telah diputuskan di antara kamu’; ini semua memberi arti tentang adanya PENGUKUHAN keputusan hukum dari qadhi pada (pengadilan) tingkat pertama (oleh pengadilan yang lebih tinggi). 

Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Nabi saw. pernah menggtus Muadz bin Jabal ke Janad (Yaman) untuk mengajar Al-Qur’an dan Syari’at Islam, dan menjadi qadhi, dan juga ia diberi wewenang mengumpulkan zakat para pegawai yang berada di Yaman, dan oleh karena ia akan diserahi urusan qadha’ dan lain-lainnya, maka Nabi saw. (mengetesnya terlebih dahulu; Nabi bersabda:

Artinya:

”Bagaimana cara engkau mengadili, apabila ada perkara yang diajukan kepadamu? Ia menjawab: Aku akan mengadilinya dengan Kitabullah, lalu ia bertanya: Bagaimana kalau kamu tidak menemukan (hukumnya) di dalam Kitabullah? Ia menjawab: Dengan Sunnah Rasul-Nya. la bertanya: Kalau tidak kamu temukan di dalam Sunnah Rasul-Nya? Ia menjawab: Aku akan berijtihad dengan Ra’yuku dan aku akan berusaha sekuat-kuatnya. ”

Demikian pula Rasul saw. pernah mengangkat ’Itab bin Usaid sebagai walikota Mekah dan sekaligus sebagai qadhi sesudah ditaklukkannya kota itu, dan jabatan itu tetap dipegangnya di masa Khilafah Abu Bakr as Shidiq sampai ia meninggal dunia.

Dan Rasul saw. telah memberikan upah tertentu kepada para pejabat peradilan yang sesuai dengan situasi kebutuhan sehari-hari pada masa itu, hal itu dapat diambil kesimpulan dari ucapan ’Itab bin Usaid sebagai berikut: (Artinya) Sungguh Nabi saw. telah memberi aku dua dirham setiap harinya, padahal tidak ada perut yang tidak dapat dikenyangkan dengan uang dua dirham seharinya.

Oleh karena itu, apabila ada orang yang berani mengatakan, bahwa peradilan di masa Nabi saw. masih samar-samar dan tidak jelas serta tidak mudah memperoleh suatu gambaran yang konkrit, agar ia berfikir lain untuk memperoleh gambaran tersebut, sebab kami dapat menegaskan dan menenteramkan hatinya dengan menyatakan, bahwa Islam adalah agama dan kekuasaan dengan berbagai organisasinya, yang antara lain adalah a1 qadha’ (peradilan). Sedang proses pembentukan hukum Islam telah menggariskan pedoman bagi jalannya peradilan dan meletakkan dasar-dasar prinsipnya sebelum berakhimya wahyu. Adapun tidak berperanannya sunnah dalam memerinci bidang ini, dam tampilnya Ulama’ mujtahidin di kalangan kaum Muslimin yang kemudian melangkah lebih jauh dalam menangani masalah ini, adalah semata-mata karena faktor waktu dan lingkungan, yang mempengaruhi perkembangan pergaulan dan organisasi kekuasaan. Kemudian qadha’ berfungsi menerapkan hukum-hukum menurut peristiwa yang terjadi (kasus-kasus yang detail), yang keseluruhannya itu telah ditetapkan hukumnya oleh Syari’at, yang adakalanya dalam bentuk detail seperti hukuman (had) pencurian dan perzinaan, dan adakalanya dalam bentuk qaidah-qaidah umum seperti hukum-hukum yang bermaksud melindungi kebiasaan atau kemaslahatan umum.

Adapun dalam penerapan hukum-hukum itu, haruslah diperhatikan prinsip-prinsip tentang pemeliharaan hak-hak sebagaimana keharusan berpegang kepada adanya bukti-bukti dan menetapkan tempo dalam pemeriksaannya. Sedang prinsip-prinsip itu telah ada di dalam dalil -dalil Syari’at dengan ketentuan tidak boleh menyalahinya sedikit atau banyak. Adapun aturan-aturan tambahan yang dianggap sebagai sendi keadilan, maka berkembang kemudian menurut situasi zaman dan tempat, oleh karena itu, Islam memberikan peluang ijtihad bagi pejabat qadha’.[6]

Oleh karena itu, terdapat keterangan-keterangan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al Aqqallani[7] bahwa di daerah-daerah apabila dihadapkan kepada perkara-perkara yang memerlukan penyelesaian hukumnya, mereka bertahkim kepada pejabat yang ditugaskan di tempat itu dan mereka menerima serta berpegangan dengan keputusannya, sedang apabila di antara pejabat itu menemui kesulitan dalam memutuskan hukum suatu kasus, maka diutuslah seseorang menghadap dan menanyakannya langsung kepada Rasul saw. Maka. Nabi saw. semasa hidupnya, mengajar kepada pembantu-pembantunya, meluruskan mereka kalau mereka menyimpang dan memecat mereka apabila mereka tidak lurus.[8]

4. Peradilan di masa Khulafa’

Di masa Abu Bakar tidak nampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan ini karena kesibukannva memerangi sebagian kaum Muslimin yang murtad sepeninggal Rasul saw.. dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan pemerintahan lainnya di samping belum meluasnva wilavah kekuasaan Islam pada masa itu; Hanya diriwayatkan, bahwa pada masa Abu Bakar ini urusan qadha diserahkan kepada Umar bin Khatthab selama dua tahun lamanya, namun selama itu tidak pernah terjadi adanya sengketa yang perlu dihadapkan ke muka pengadilan, karena dikenalnya Umar sebagai orang yang sangat keras,[9] dan juga karena faktor pribadi-pribadi kaum Muslimin pada masa itu yang dikenal sebagai (sangat saleh dan toleran terhadap sesama Muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka.

Tetapi setelah meluasnya wilayah kekuasaan Islam di masa Umar bin Khatthab serta semakin banyaknya beban-beban yang menyangkut bidang peradilan ini, ditambah dengan keharusan peningkatan perhatian dalam urusan pemerintahan di daerah-daerah, maka Khalifah Umar bin Khatthab mulai memisahkan antara kekuasaan peradilan dengan kekuasaan pemerintahan dan ia mengangkat Abu Darda’ sebagai qadhi di kota Madinah dan Suraih bin Qais bin Abil Ash di Mesir.

Diriwayatkanlah bahwa Umar pernah berkata kepada salah seorang qadhi demikian:

رد عني الناس في الدرهم والدرهمين

Artinya:

”Janganlah dibawa kehadapanku, kasus persengketaan yang bernilai satu atau dua dirham.”

”Dan setelah urusan peradilan ini merupakan bagian dari kekuasaan umum, maka di antara wewenang penguasa adalah menentukan wewenang qadhi terhadap sebagian urusan peradilan yang harus ditanganinya serta membatasi wewenang tersebut,” dan karena itu, maka Khalifah Umar ketika mengangkat pejabat-pejabat qadhi, beliau membatasi mereka, khusus tentang penyelesaian sengketa harta benda (urusan perdata), tetapi perkara-perkara pidana (jinayah) yang menyangkut hukum qishash, atau had-had maka tetap menjadi wewenang Khalifah dan penguasa-penguasa daerah.

Sedang Khalifah Usman bin Affan adalah Khalifah yang pertama kali mendirikan gedung pengadilan yang di masa dua orang Khalifah sebelumnya, kegiatan ini dilakukan di masjid. Demikian juga di masa Khalifah-khalifah ini telah ditertibkan gaji bagi pejabat-pejabat peradilan dengan diambilkan dari Kas Baitul Mal yang mula-mula dirintis di masa Khilafah Abu Bakar r.a.

Demikian pula Khalifah Ali bin Abi Thalib mengangkat An-Nakha’i sebagai Gubernur di Ustur dan Mesir dengan pesan-pesannya, agar ia bertakwa kepada Allah, dan agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan kepada rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih penasehat-penasehat, serta dijelaskannya tentang siasat pemerintahan, lalu ia berkata (memesan) tentang khusus urusan qadha . ”Kemudian pilihlah untuk jabatan qadhi di antara rakyatmu yang engkau pandang sebagai orang yang terhormat yang tidak disibukkan oleh urusan-urusan lain dan anjurkanlah agar mereka bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang sebenamya, lalu pilihlah orang yang tidak sombong lantaran pujian, dan tidak condong lantaran hasutan, kemudian perbanyaklah memberikan Pesan-Pesan kepadanya dan berilah fasilitas yang dapat meringankan bebannya ...”.

Dan Khalifah-khalifah sering sekali memperbaharui pesan-pesan mereka kepada para Penguasa dan qadhi-qadhi dcngan memberikan bimbingan-bimbingan. Di antaranya, adalah surat Khalifah Umar kepada Abu Musa Al-Asy’ari qadhi di Kufah yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang, yang ternyata disambut dan diterima di kalangan Ulama’ serta dihimpunlah daripadanya, pokok-pokok hukum. Dan mengingat pentingnya surat ini maka kami sajikan selengkapnya:

(Risalah al-Qadha’u)

Klik di sini untuk melihat

Teknis mereka dalam memutus perkara dan memberi fatwa

Adalah para Khalifah, apabila dihadapkan suatu perkara kepada mereka, atau dimohon memberikan fatwa hukum, maka mereka mencari ketentuan hukumnya di dalam Kitabullah, kemudian apabila mereka tidak menemukannya suatu ketentuan hukum di dalam Kitabullah, maka mereka mencarinya di dalam Sunnah Nabi saw., lalu apabila mereka tidak mendapatkannya di dalam Sunnah, maka mereka menanyakan orang-orang, apakah di antara mereka ada yang mengetahui hukum perkara seperti itu di dalam Sunnah, apabila ditemukan maka mereka berpegangan dengan Sunnah tersebut setelah memperoleh penguat dengan saksi-saksi, seperti yang diperbuat Abu Bakr, Umar, atau dengan menyumpah pembawa Sunnah tersebut atas kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Dan kalau mereka tidak menemukan hukum masalah yang mereka hadapi itu dengan cara demikian, maka mereka berijtihad dengan ijtihad bersama (jama’i) apabila masalah itu menyangkut hukum dan berhubungan dengan masyarakat, dan dengan ijtihad perseorangan (fardi) apabila masalahnya menyangkut hal-hal yang bersifat khusus, menyangkut urusan orang-seorang.

Dapatlah diambil kesimpulan, bahwa ada periode ini, nara qadhi belum mempunyai sekretaris atau catatan yang memhimpun hukum-hukum produk qadha’nya karena qadhilah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya demikian pula qadli pada masa itu belum memiliki tempat khusus (gedung pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadhi hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berperkara itu datang ke rumahnya, lalu diperiksa dan diputus di situ juga. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikan tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungsi masjid yang sebenamya tidaklah terbatas hanya untuk melakukan ibdah saja, tetapi ia merupakan pusat bagi memecahkan segala urusan sosial, seperti peradilan, pengajaran dan memecahkah berbagai masalah.[10]

5. Peradilan di masa Bani Umayah[11]

Terjadilah kekacauan dan fitnah, sehingga berakhir dengan jatuhnya kekuasaan di tangan Muawiyah Khalifah pertama dari kalangan Bani Umaiyah. Sedang ahli-ahli fiqih dari kalangan sahabat dan Tabi’in pada masa itu telah bertebaran di berbagai ibukota karena semakin luasnya daerah penaklukan, maka Khalifahlah yang mengangkat qadhi-qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan, dan untuk qadhi-qadhi yang bertugas di daerah, diserahkan pengangkatannya oleh penguasa-penguasa daerah, maka qadhi-qadhi itu bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri, hanya mereka secara hirarkis berada di bawah Khalifah dan wakil-wakilnya.

Dan qadhi-qadhi pada masa itu dibatasi wewenangnya, hanya memutus perkara dalam urusan-urusan khusus, sedang yang berhak melaksanakan keputusan-keputusan tersebut adalah khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan intruksi daripadanya, dan itulah yang pada masa kini dilakukan oleh lembaga tersendiri selama keputusan itu telah memiliki ketetapan.

Qadhi pada umumnya adalah seorang mujtahid, sehingga tidak ada qadhi yang memegangi suatu pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari Al Qur’an atau Sunnah Nabi saw. atau ijma’, dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menentukan hukumnya, maka ia minta bantuan ahli-ahli fiqih yang berada di kota itu, dan banyak di antara mereka yang berkonsultasi dengan Khalifah atau Penguasa dalam mencari suatu ketentuan pendapat. Oleh karena itu, qadhi-qadhi pada masa itu keputusan-keputusan hukumnya tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan pribadi, sehingga keputusan-keputusan mereka itu benar-benar berwibawa, meskipun terhadap para penguasa itu sendiri. Dan juga di antara faktornya, karena Khalifah sendiri selalu mengawasi keputusan-keputusan yang mereka keluarkan, di samping adanya ancaman pemecatan bagi siapa yang berani melakukan penyelewengan.

Dan dalam periode ini belum dikenal adanya pencatatan keputusan pengadilan dan teknis pengajuan perkara adalah dengan cara mula-mula diajukan kepada qadhi, lalu ditelitinya, kemudian kedua pihak yang berperkara itu dihadapkan ke muda sidang , lalu qadhi menyempaikan keputusannya.

Hanya di masa khilafah Mu’awiyah sudah ada seorang qadhi di Mesir yang berpendapat tentang pentingnya pencatatan keputusan. Karena pada suatu ketika telah terjadi sengketa harta pusaka yang telah diputus, kemudian di lain waktu pihak-pihak yang berperkara tersebut mengingkari keputusan itu dan mereka saling berselisih tentang keputusan itu, kemudian mereka memulami mengajukan perkara tersebut lalu diputus dan dicatat serta dihimpun di dalam buku khusus. Maka itulah pertama kali suatu keputusan yang dibukukan /dicatat.

6. Peradilan di masa Bani Abbas dan sesudahnya[12]

Di masa Bani Abbas ini, peradaban telah semakin meluas, dan berbagai kasus telah terjadi akibat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, perekonomian dan kemasyarakatan, maka membawa akibat pula saling berselisih dan berbeda pendapat antara ahli-ahli fiqih, dan timbullah madzhab-madzhab sehingga timbul pula taqlid, yang hal ini mempengaruhi juga terhadap keputusan-keputusan para qadhi, karena seorang qadhi di Irak memutus hukum dengan berpegangan kepada mazhab Hanafi, dan di Syam dan Maghribi mengikuti mazhab Syafi’i. Dan apabila ada dua pihak yang berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termashur di negeri itu, maka ditunjuklah seorang qadhi yang akan memutus perkara itu sesuai dengan mazhab yang diikuti kedua belah pihak yang berperkara, dan  bahkan ada juga sebagian khalifah Abbasiyah yang ikut campur dalam penanganan perkara oleh qadhi, sehingga hal ini menyebabkan menjauhnya fuqaha dari jabatan ini.

Dan situasi kacau-balau dalam hukum ini, serta tidak adanya ketentuan hukum yang harus dipegangi oleh qadhi, sehingga mendorong Ibnul Muqaffa’ untuk mengirim surat kepada Khalifah Ja’far al-Mansur, agar dipilih di antara pendapat dari imam-imam mazhab dan fuqaha’, suatu hukum yang akan dipegangi oleh para qadhi di seluruh negeri. Dan Khalifah benar-benar telah menyetujui keinginan ini dan meminta kepada Imam Malik untuk melaksanakan ide ini.

Seperti halnya Abu Yusuf ahli fiqih dari madzhab Hanafi, bahwa ia telah mendapat kehormatan dari Khalifah untuk mengangkat jabatan qadhi dari kalanga' ahli-ahli fiqih pengikut madzhab Hanafi, dan telah dibentuk satu jabatan peradilan yang pcnting yang diangkat oleh Abu Yusuf yang disebut qadhil qudhat yang bertugas mengawasi, mengangkat, dan memecat qadhi-qadhi, serta meninjau keputusan keputusan yang mereka keluarkan, maka pada masa itu, telah ada pembagian wilayah peradilan tertentu dan telah ada Ketua Mahkamah Agung yang menertibkan serta mengatur urusan mereka. Tetapi setelah beberapa daerah memisahkan dari dari pusat pemerintahan di Baghdad, maka masing-masing dari daerah tersebut memiliki qadhil qudhat sendiri, yang di Andalusia (Spanyol) disebut dengan qadhil jama’ah.

Dan bagi para qadhi dan ulama’ memiliki pakaian khusus yang membedakan mereka dcngan rakyat umum, sedang qadhi-qadhi sangat berwibawa, dan memiliki pengawal khusus yang mengatur waktu-waktu berkunjung, dan beberapa orang pembantu yang mengatur pengaiuan perkara serta meneliti dakwaan-dakwaan mereka, sedang gedung tempat memeriksa perkara, berada di tengah-tengah kota, yang merupakan gcdung yang luas dan bersih, demikian juga telah ditentukan hari-hari tertentu untuk mcmeriksa perkara, yang apabila ada suatu keputusan yang tidak dijatuhkan pada hari-hari tersebut maka dipandang tidak sah, terutama pada hari-hari raya dan sebangsany. Dan pada masa ini telah diadakan pembukuan putusan secara sempurna, dan pencatatan wasiat-wasiat dan hutang-hutang. Dan kekuasan peradilan semakin meluas, sehingga dimasukkan pula di dalamnya, kekuasaan kepolisian, Wilayatul Madhalim, Wilayatul Hisbah dan pengawasan mata uang dan Baitul Mal.[13]

Demikianlah, bahwa di dalam Islam yang berhak menyclesaikan kasus-kasus yang terjadi bukanlah semata-mata menjadi wewenangnya peradilan, akan tetapi di samping peradilan ada lagi lembaga Tahkim, yang diakui oleh Islam dan terdapat juga dalam perundang-undangan modern, sebagaimana halnya fiqih Islami mengakui adanya Wilayatul Hisbah dan Wilayatul Madhalim yang terpisah dari kekuasaan peradilan.

Dan demikian pula, maka peradilan Islam telah memiliki organisasi yang sempurna yang meliputi seluruh wilayah negara, sedang hakim-hakim di masa-masa taqlid mengikuti pendapat iman madzhab mereka, sehingga hukum satu masalah dapat saja berbeda-beda menurut perbedaan pendapat imam madzhab hakim yang bersangkutan.

Peradilan di masa Daulat Usmaniyah[14]

Mesir telah dibawa oleh Daulat Usmaniyah kepada keadaan keterbukaan di bidang hukum, dan hal ini membawa juga kepada hal pengangkatan hakim-hakim dan kekuasaan peradilan, di samping membiarkan kekuasaan praktis lainnya berada pada wewenang raja-raja. Dan setelah Daulat Usmaniyah meluaskan lebih jauh penafsiran mereka tentang makna tasamuh (toleransi) agama terhadap golongan dzimmi yang melampaui apa yang digariskan Fuqaha’ sejauh tunduk mereka kepada kekuasaan peradilan di dalam daulat Islamiyah, maka Daulat Usmaniyah telah memperkanankan berdirinya peradilan untuk golongan-golongan agama di luar Islam, dan keadaan ini berkembang terus sehingga di samping ada peradilan untuk golongan-golongan agama-agama di luar Islam, ada juga peradilan qushuliy.

Banyaknya peradilan dan sumber hukumnya yang berbeda-beda[15]

Pada tahun 1876, Mesir telah mencapai kesempurnaannya di bidang kekuasaan peradilan dan wewenangnya, memiliki jumlah peradilan yang sangat banyak, dna undang-undang yang wajib diterapkan bukannya fiqih Islam secara keseluruhannya, sehingga [ada masa Raja Taufiq, di Mesir ada 5 peradilan yang hukum-hukumnya dari berbagai sumber yang berbeda-beda (peradilan-peradilan tersebut adalah sbb):

  1. Peradilan Syar’i, dan inilah peradilan yang tertua, dan sumber hukumnya adalah fiqih Islami.
  2. Peradilan Campuran, yang didirikan pada tahun 1875 dan sumber hukumnya adalah undang-undang asing.
  3. Peradilan Ahli (Adat), didirikan pada tahun 1883, dan sumber hukumnya adalah Undang-Undang Perancis.
  4. Peradilan Milliy (Peradilan Agama-agama di luar Islam), sumber hukumnya adalah Agama-agama golongan-golongan di luar Islam.
  5. Peradilan Qunshuliy (Peradilan Negara-negara Asing), di mana pengadilan-pengadilan dari peradilan Qunshuliy ini mengadili berdasarkan undang-undang negara masing-masing.

Demikianlah, banyaknya arah peradilan di Mesir, baik macamnya maupun kepribadiannya. Kemudian setelah itu timbullah perkembangan baru, di mana negara berusaha melepaskan keadaan yang semrawut di bidang peradilan ini, maka dikembalikanlah kekuasaan peradilan seperti keadaan sebelumnya, dan dihapuslah peradilan Qunshuliy dan Peradilan Campuran, kemudian melangkah ke arah unifikasi peradilan sehingga dihapus pula Peradilan Milliyah dan Mahkamah-Mahkamah Syar’iyah, dengan keluarnya Undang-Undang No. 462 Tahun 1955 yang berlaku sejak Januari tahun 1956 dan kasus-kasus yang dihadapinya dibawa kepada Peradilan Adiy (Adat) yang dahulu bernama Peradilan Ahliy, dan disusunlah Hukum Keluarga untuk kaum Muslimin dan undang-undang yang wajib diterapkan adalah undang-undang  yang diambil dari fiqih Islami, dan undang-undang itulah yang pertama kali-diterapkan dalam Mahkamah Syar’iyah dengan diadakan pembetulan sebahagiannya, yaitu yang berkaitan dengan Hukum Acara, sebagaimana dibentuk bagian-bagian, maka demikian juga yang menyangkut Hukum Keluarga bagi ghairu Muslim.


[1]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, Cet-2 (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1982), h. 31-32.

[2]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 32-33.

[3]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 33.

[4]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 34.

[5]Ibnul Qayim, Zadul Ma’ad & Abdullah bin Muhammad al-Qurtubi, Kutubus Sirah, Aqdhiyyatur Rasul saw, dalam Muhammad Salam Madkur, h. 38.

[6]Muhammad Khadhir Husain, Naqdhu Kitabil Islam wa Ushulil Hikam, (tt: Mathba’ah Salafiyah, 1344H), h. 92-95.

[7]Fathul Bari Juz 13, h. 183.

[8]Ibnul Qayim, A’lamul Muwaqqi’in, Juz 4, h. 93.

[9]Hasan Ibrahim, Tarikh Islam al-Siyasi, Juz 1, h. 526.

[10]Hasan Ibrahim, Tarikhul Islam al-Siyasi, h. 528.

[11]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 47-48.

[12]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 48-49.

[13]Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 192-193.

[14]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 50.

[15]Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, h. 50-51.